Resensi Buku: Siswoyo Dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri

date
Nov 10, 2015
slug
resensi-buku-siswoyo-dalam-pusaran-arus-sejarah-kiri
status
Published
tags
Artikel
summary
Untuk memahami sejarah pergerakan Indonesia kiranya tidak begitu sukar karena banyak sekali referensi yang disodorkan oleh literatur-literatur yang ada, termasuk sejarah gerakan kiri Indonesia. Karena banyaknya referensi itulah yang membuat tantangan bagaimana agar buku referensi yang diangkat bisa memiliki kebaruan dalam aspek tertentu. Buku ini sedang mengungkap bagian sejarah dari aspek lain, yaitu aspek seorang Siswoyo yang duduk dalam posisi penting di partai; yang menjadi korban sejarah. Siswoyo adalah anggota sekretariat CC PKI. Menariknya, dia menduduki posisi penting yaitu bagian pendidikan.
type
Post
Property

Sumber gambar: akubaca.com
Sumber gambar: akubaca.com
Judul Buku : Siswoyo Dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri Penulis : Joko Waskito 
Penerbit : Ultimus Tahun : 2015 Tebal Buku : 224
Halaman No. ISBN : 978–602–8331–60–9
Untuk memahami sejarah pergerakan Indonesia kiranya tidak begitu sukar karena banyak sekali referensi yang disodorkan oleh literatur-literatur yang ada, termasuk sejarah gerakan kiri Indonesia. Karena banyaknya referensi itulah yang membuat tantangan bagaimana agar buku referensi yang diangkat bisa memiliki kebaruan dalam aspek tertentu. Buku ini sedang mengungkap bagian sejarah dari aspek lain, yaitu aspek seorang Siswoyo yang duduk dalam posisi penting di partai; yang menjadi korban sejarah. Siswoyo adalah anggota sekretariat CC PKI. Menariknya, dia menduduki posisi penting yaitu bagian pendidikan.
Lahir di Solo tahun 1925 sebagai anak dari seorang asisten wedana. Siswoyo menyerap pengetahuan penindasan sejak masih kanak-kanak, meski dalam pengertian yang masih sangat sederhana yaitu: Belanda adalah penjajah. Ketika itu, bapaknya pindah ke Klaten, menjadi mantri polisi pamong praja kota Klaten. Di rumahnya, sering digunakan berkumpulnya anak-anak muda. Mereka bernyanyi dengan alunan keroncong, menyanyikan lagu Indonesia Raya yang, ketika itu sangat dilarang oleh pemerintahan Belanda. Sehingga, lagu Indonesia Raya dinyanyikan tanpa syair. Sentuhan politik pergerakan memang terus mengiringi hidup Siswoyo.
Dari buku inilah-dari dinamika Siswoyo dalam perannya membantu menggerakkan mesin partai komunis-kita bisa membaca sejarah Indonesia paska kemerdekaan dari sisi kebangkitan partai paling progresif sepanjang bangsa ini berdiri. Peristiwa bersejarah yang selama ini ditutup dan dibajak faktanya oleh kekuasaan, tabirnya dilepas oleh penuturan Siswoyo. Seperti memberikan banyak sekali koreksi atas babak-babak peristiwa penting sejarah. Termasuk bagaimana intrik politik Hatta dalam perjanjian Renville sanggup memaksa Amir Sjarifoeddin mengundurkan diri sebagai perdana menteri. Keputusan Amir Sjarifoeddin sangat disesali Alimin, Siauw Giok Tjan dan Musso. Begitu pula secara politik, Front Demokrasi Rakyat (FDR) menjadi oposan terhadap kabinet Hatta. FDR adalah aliansi partai dan ormas berhaluan kiri (dari nasional hingga daerah-daerah) yang isinya adalah PKI, Partai Sosialis, Partai Buruh, Pesindo, BTI, SOBSI dan Laskar Rakyat.
Naiknya Hatta menggantikan posisi Amir sebagai perdana menteri dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Hatta untuk menyingkirkan unsur komunis dalam angkatan bersenjata. Februari 1948 dikeluarkanlah program Rekonstruksi-Rasionalisasi (RERA), konsekuensi programnya adalah tersingkirnya mayoritas komunis dalam angkatan bersenjata karena, Hatta tahu benar bahwa tentara komunis banyak berasal dari bawah (rakyat tentara), non lulusan KNIL, sehingga RERA menjadi alat penjaring, yang boleh masuk dalam angkatan bersenjata resmi hanya tentara lulusan KNIL. Di luar itu, tidak boleh masuk dalam jajaran angkatan bersenjata.
Manuver politik Hatta dilancarkan terus-menerus. Siswoyo pun mengungkap cerita tentang Kolonel Sutarto, Panglima Divisi IV Panembahan Senopati, Solo, seorang militer kiri, yang ditembak mati oleh orang tak dikenal; yang meninggalkan kartu identitas keanggotaan pasukan divisi I Siliwangi di lokasi penembakan. “Identitas provokatif” tersebut dianalisa oleh FDR sebagai upaya provokasi membenturkan pasukan Siliwangi, Jawa Barat dengan Panembahan Senopati, Solo, yang oleh Hatta digunakan untuk membangun dalih melemahkan kekuatan komunisme, sementara, Hatta lebih condong pada gagasan kapitalisme. Kedekatannya dengan blok kapitalis tercium dengan santernya kabar bahwa Hatta bertemu dengan utusan Amerika di lereng Gunung Lawu, membicarakan dan menyetujui beberapa kesepakatan yang kemudian dikenal dengan Red Drive Proposal, berisi tentang proyek Pengejaran Kaum Merah.
Setelah Terpukul Paska 1948, Di Solo Dan Jawa Tengah, Siswoyo Membangun Ulang Partai
Solo memanas setelah Peristiwa Madiun 1948. Dalam satu kota, pertempuran terjadi di beberapa titik antara pasukan FDR/PKI (dibantu pasukan Divisi IV Panembahan Senopati) dengan pasukan TNI (dibantu laskar anti-komunis). Karena FDR sadar bahwa pertempuran ini adalah hasil dari provokasi Hatta (dan demi menghindari korban sipil), maka pasukan yang berada di kubu FDR menarik mundur pasukannya ke selatan kota Solo. Dalam langkah meredam pertempuran, Siswoyo dan kawan-kawan menyusup ke Sukoharjo bersama anggota SOBSI, bertemulah dengan D.N Aidit, kemudian membicarakan upaya bertahan. Di Sukoharjo, Siswoyo mengkonsolidasikan unsur-unsur komunis, dan berhasil menjadikan Sukoharjo sebagai tempat perlindungan. Siswoyo bergerak lagi, kembali ke Solo untuk menyusun kekuatan. Setelah sukses, Sis bergeser 30 Km menuju Boyolali dengan berjalan kaki ditemani Rewang, untuk pekerjaan yang sama: konsolidasi. Konsolidasi sukses hingga ke beberapa karesidenan terdekat, Tlatar, Karang Gede, Klego, Wonosegoro.
Ketabahan dan kesabaran revolusioner yang dimiliki Siswoyo menghasilkan buah yang begitu manis: Sukses menyusun dan membangun kekuatan badan-badan partai. Meski, Siswoyo menyesal mendengar bahwa rombongan Amir Sjarifoeddin dkk tertangkap dalam pelarian dari Madiun menuju Semarang. Ditemani Fransisca Fanggidaej, Setiadjit, Sardjono, Soeripno, beserta beberapa anggota PKI dan Pesindo ditangkap di Desa Klambu. Hingga malam hari, 18 Desember 1948, mereka dibawa ke Desa Ngaliyan, Karanganyar, untuk dieksekusi mati atas perintah gubernur militer Surakarta, Kolonel Gatot Subroto. Meski di kemudian hari, Gatot Subroto mengatakan pada Aidit bahwa perintah eksekusi datang dari Hatta selaku Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan waktu itu.
Pada agresi militer Belanda ke dua, Aidit, Suhadi dan Ruslan Widjajasastra tertangkap, namun bisa dibebaskan di Solo, kemudian disembunyikan Siswoyo di Surakarta. Selama dalam persembunyian, Aidit menyamar menjadi asisten tukang jahit di sebuah usaha jahit bernama Oryza Tailor. Demi pertimbangan bahwa badan partai harus terus hidup, maka Jakarta harus digerakkan. Pada situasi ini, Sis menjadi bagian penting dengan pekerjaan menyelundupkan Aidit ke Jakarta. Dengan menjadi penumpang gelap dalam truk barang dagangan yang menuju ke Semarang, berangkatlah Aidit ke Jakarta.
Konferensi Nasional 1952
Inilah konferensi paling bersejarah, setidaknya dalam kurun setelah revolusi 45, untuk pertama kali partai membuat program perluasan dan kaderisasi besar-besaran. Secara umum, badan partai mengalami perombakan total dari struktur partai, merekomendasikan kongres partai ke lima, dan persiapan menuju pemilu 1955.
PKI bisa dikatakan sukses, butuh 5 tahun bangkit, meraup simpati rakyat sebanyak 2.326.108 suara, terbanyak keempat di Indonesia. Tentu semua musuh politik bahkan internal PKI pun terhenyak dengan perolehan hasilnya. Sungguh sukses yang begitu besar.
Lonjakan kekuatan PKI semakin memperburuk upaya dominasi kekuatan anti-komunis, baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri.
Komitmen Terhadap Pendidikan
“Kebangkitan rakyat tidak cukup hanya dituntun oleh garis politik, dengan semangat dan keberanian saja. tapi juga harus diimbangi dengan rasio.”
Partai membentuk sebuah departemen yaitu Departemen Pendidikan Ilmu dan Kebudayaan. Siswoyo didaulat untuk menanggung beban tanggung jawab berjalannya departemen tersebut bersama Jan Ave, Jubar Ayub, Bismo, dll.
Departemen ini ranahnya berbeda dengan departemen pendidikan partai yang menangani pekerjaan agitasi-propaganda. Ini adalah departemen yang mengurusi pendidikan umum untuk rakyat sehingga, dipandang perlu untuk membangun dan mengembangkan kapasitas rakyat melalui pendidikan formal. Agar kapasitas rakyat (baca: tenaga produktif) semakin besar sehingga menguntungkan bagi revolusi maka, ada dua hal yang perlu diberikan yaitu kesehatan dan pendidikan. Dalam porsi ini, partai tidak sekedar meningkatkan rasio dan pemahaman Marxisme, jauh lebih luas dari itu adalah dibangunnya pendidikan umum sebagai sarana membangkitkan rakyat melalui pengetahuan.
Dengan landasan materiil adalah menguat dan meluasnya pengaruh partai hingga mendapatkan dukungan yang besar maka program pendidikan umum untuk rakyat bisa berjalan dengan memaksimalkan segala daya yang dimiliki partai. Kader partai yang ada di Taman Siswa, PGTI dan PGRI didorong agar menjadi tenaga pengajar untuk sekolah rakyat. Khusus untuk Taman Siswa, banyak para pengajar mereka terlibat, dari guru TK hingga Sarjana Wiyata. Mengapa demikian? Menurut Siswoyo, dahulu Ki Hajar Dewantoro akrab dengan Musso. Dari situlah gagasan kiri menjadi diskursus dalam obrolan antara Ki Hajar dan Musso, terutama konsepsi partai komunis tentang garis masssa yang kemudian melahirkan konsep Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (arti: di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan) yang menjadi prinsip bagi sistem pendidikan Indonesia; yang mengajarkan prinsip pembagian peran secara setara.
Yang menarik adalah, pembukaan sekolah-sekolah umum disambut oleh anggota dan pendukung partai, bahkan keterlibatan orang-orang non partai semakin besar. Apalagi setelah dibukanya Universitas Rakyat (UNRA) yang pendiriannya digagas oleh Siswoyo, Oey Hay Djoen, Mr. Prapto, Dr. Lie Chuan Sien dan Rivai Apin. Secara nasional, dibangunlah sebuah wadah bernama Lembaga Pendidikan Nasional (LPN). Sekolah ini memang berbeda secara konsep dan kurikulum dengan sekolah resmi milik pemerintah. Sekolah yang dikelola LPN memiliki corak dan karakter ideologis. Termasuk dalam hal slogan. Jika sekolah pemerintah memiliki slogan Panca Dharma, sekolah milik partai berslogan Panca Cinta yaitu: (1) Cinta Tanah Air, (2) Cinta Rakyat dan Cinta Kerja, (3) Cinta Ilmu, (4) Cinta Persahabatan Antar bangsa, (5) Cinta Orang Tua. Dengan semboyan: Merah dan Ahli.
Hingga menjelang September 65, sekolah rakyat yang dibangun partai sudah lebih dari 2000 sekolah, bahkan hingga ke Papua, dan usia Universitas Rakyat hampir mencapai 7 tahun. Datanglah malapetaka 65.
Pemilu 1959: Soekarno Ragu-Ragu, Kelompok Islam dan Militer Menolak, PKI Setuju
Kubu-kubu politik mulai mengerucut, pembelahannya bertambah tegas. Setelah gagalnya sidang konstituante, disusul dengan keluarnya Dekrit Presiden, usulan pemilu yang disodorkan PKI akhirnya ditolak oleh koalisi bentukan militer yang anti PKI (kapitalis-birokrat baju hijau), NU, nasionalis kanan dan Masyumi. Mengapa mereka menolak diadakannya pemilu? Khawatir, karena, pembesaran kekuatan massa PKI sangat signifikan, bahkan Siswoyo berani mengkalkulasi bahwa di beberapa daerah, PKI bisa menang mutlak. Landasannya adalah partisipasi rakyat terhadap program populis PKI dan ormas-ormasnya begitu besar.
Perseteruan Mulai Terbuka
Proses penggalangan kekuatan anti komunis oleh militer diwarnai ketegangan-ketegangan situasi politik. Segala celah digunakan militer untuk menyudutkan PKI, termasuk ketika PKI melancarkan kritik dan kecaman terhadap Kabinet Juanda dimana PKI dalam sebuah dokumen berjudul Sebuah evaluasi Mengenai Kabinet Kerja Sesudah Satu Tahun Bekerja mengajukan pertanyaan insinuative, apakah demokrasi terpimpin, sesungguhnya, bukan “suatu sistem politik dan ekonomi semi-fasis yang lebih jahat daripada demokrasi liberal…?”
Oleh militer, kritik dan kecaman yang dilakukan PKI dipelintir bahwa PKI telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Tak lama kemudian, militer bereaksi. Kontan saja persekusi atas diri Aidit dan Ir. Sakirman (CC PKI) berlangsung, tapi hanya Ir. Sakirman yang sempat tertangkap dan diinterogasi militer. Selain itu, Harian Rakjat juga dibredel.
Perseteruan terus diasah dalam kerangka penghancuran kekuatan komunis. Bertepatan dengan itu, hubungan luar negeri dengan Amerika semakin buruk. Dasarnya adalah, PBB yang dikendalikan Amerika, berpihak pada Malaysia dengan menerima Malaysia masuk sebagai anggota tidak tetap. Bung Karno langsung menyatakan keluar dari PBB.
Detik-Detik Akhir
Pertemuan 2 minggu sebelum 30 September 1965 adalah briefing CC PKI yang digelar Aidit. Berdiskusi mengenai kalkulasi politis atas tindakan kelompok yang mencoba menghancurkan PKI dan mengkudeta kekuasaan Soekarno. Bahkan Aidit menyebut nama-nama jenderal seperti A. Yani, Nasution, S. Parman, Suprapto, M.T Haryono, Sutoyo dan D.I Panjaitan tengah mempersiapkan kudeta (hal. 178). Meskipun ada pula kelompok perwira muda Soekarnois (militer progresif) berupaya menggagalkannya.
Di rumah temannya, daerah Salemba, Siswoyo ditangkap pada 13 Oktober 1965. Dan dibawa ke RTC (Rumah Tahanan Chusus) Salemba, dalam blok isolasi selama beberapa hari.
Sis Menolak Kecenderungan Revisionisme PKI
Hal apakah yang menyebabkan munculnya benih revisionisme? Analisa Sis adalah dengan adanya konsep MKTBP (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan) dan Dua Aspek. Pertama, tentang MKTBP; adalah konsep yang menggabungkan 3 kategori tenaga revolusi yaitu buruh, tani dan TNI. Yang menjadi janggal bagi Siswoyo adalah tentara yang dimaksud adalah orang-orang partai yang berada dalam tubuh TNI, harusnya, menurut Sis, adalah tentara rakyat. sehingga, MKTBP mengaburkan makna kelas karena, biar bagaimanapun, TNI berkarakter borjuis, dan tentu menjadi alat borjuasi. Kedua, tentang Dua Aspek; sebenarnya, konsepsi Dua Aspek bisa dikatakan sebagai sebuah kesimpulan internal partai yang diwacanakan D.N Aidit. Intinya, penggolongan masyarakat waktu itu hanya ada dua yakni aspek yang mewakili kepentingan rakyat dengan Bung Karno sebagai tokohnya dan, aspek yang menjadi musuh rakyat yaitu militer. Kesimpulan itu dikritik oleh Siswoyo: “Dan seakan-akan RI di bawah pimpinan Bung Karno sudah setengah pemerintahan rakyat, padahal, bagaimanapun baiknya Bung Karno, dia itu tetap dari kelas borjuasi” (hal. 195). Kritik tersebut, ada dalam dokumen Otokritik Politbiro CC PKI yang dikeluarkan pada bulan September 1966.
Lebih dalam lagi, Siswoyo menjabarkan bagaimana bahayanya revisionisme, yang menurutnya banyak dipengaruhi oleh gagasan Nikita Krushchev melalui kongres PKUS ke-20 tahun 1956, sehingga konsekuensinya adalah kaburnya makna perjuangan kelas. Dengan tumbuhnya revisionisme maka pencapaian sosialisme hanya bisa diraih dengan cara mendamaikan kelas. Dalam konteks ini, saya mendukung Siswoyo, dengan mengingat pelajaran bagaimana Kautsky menggunting Marxisme dengan menyimpulkan bahwa pembebasan kelas tidaklah bisa nyata, dan perjuangan kelas proletariat sudah tidak bisa lagi bekerja dengan cara-cara yang revolusioner (dengan kekerasan-insureksi), melainkan dengan jalan “damai”. Dan oleh karenanya, kesimpulan seperti itu adalah salah.
Manifesto Pemilihan Umum yang dikeluarkan partai dalam Kongres V PKI (periode 1951–1965) awalnya menyerukan agar seluruh kekuatan partai mendorong terbangunnya pemerintahan demokrasi rakyat, namun di tengah perjalanan, dilakukan perubahan. Bukan lagi untuk pemerintahan demokrasi rakyat melainkan pemerintahan koalisi nasional tanpa mengadakan otokritik. Sehingga inti problematika kesalahan revisionismenya tidak terbongkar. Alhasil, fokus kekuatan partai bukan pada mendorong maju kapasitas ideologis massa tetapi habis terkuras pada persoalan pemenangan pemilu dan koalisi nasional.
Untuk memahami revolusi Indonesia, harus terlebih dahulu bisa menyimpulkan secara objektif (materialisme historis) bagaimana dan siapa saja yang bisa diberi beban menjalankan revolusi proletar. Sampai di titik inilah, dokumen Otokritik Politbiro CC PKI begitu relevan dengan membuat sebuah catatan mengutip V.I. Lenin; “situasi revolusioner atau periode revolusioner adalah saat apabila bangunan atas yang lama telah retak dari atas ke bawah, dan apabila aksi politik yang terbuka di pihak-pihak kelas serta massa yang menciptakan bangunan atas yang baru untuk diri mereka telah menjadi kenyataan” (hal. 205). Ini juga bagian perjalanan partai yang dikritik oleh Siswoyo bahwa saat itu Indonesia belum berada dalam “situasi revolusioner yang menanjak dan matang” sehingga, situasi revolusioner tersebut tidak boleh dipaksakan oleh partai. Lagi pula, partai saat itu tidak menempuh jalan revolusioner, tapi jalan revisionisme. Karena itu, partai tidak dalam kondisi yang siap ketika situasi politik panas, dan apinya mengarah ke tubuh PKI.
Kritik Terhadap Buku
Sebelumnya, harus diakui terlebih dahulu, karena memang ini bukan buku yang membahas mengenai karakter ideologis strategi-taktik partai Marxist maka, upaya kritis Siswoyo tidak begitu mendalam dielaborasi terkait kritiknya terhadap strategi-taktik yang beraroma “revisionisme” dan “oportunisme kanan”.
Dan, kritik yang terpenting adalah jeneralisasi Siswoyo tentang kesimpulan bahwa “partai komunis tidak boleh melakukan kudeta”. Jika dalam alur cerita buku ini, kesimpulan lebih tepatnya adalah, dalam situasi dinamika partai dan situasi objektif yang sedang berkembang waktu itu, partai belum relevan jika melakukan kudeta.
Dalam hal penulisan, terdapat beberapa bagian yang repetitive, yaitu, kesimpulan pada bab sebelumnya dimuat ulang dalam bab berikutnya.
Akan tetapi, perlu diingat sekali lagi bahwa ini adalah sebuah memoar yang membahas tentang pergulatan partai paling progresif di Indonesia yang pernah ada, satu-satunya partai yang berani menentang dominasi imperialisme.
Pergulatan aktifitas ideologi-politik Siswoyo memang sudah berada di level yang maksimal. Kontribusinya sangat signifikan. Pada detik-detik pergantian dari September menuju Oktober 1965 adalah titik balik yang membelalakan mata Siswoyo. Harapan dan mimpi masa depan revolusinya terburai berantakan, dan perihnya, Siswoyo bisa melihat bagaimana mimpinya dihancurkan, harapannya ditumpas, kawan-kawan terbaiknya dikejar untuk dibunuh. Satu per satu, tiap harinya, dari balik sel isolasi, Siswoyo mendengar kawan juangnya dieksekusi.
Tabik, Bung Sis.


© PEMBEBASAN 2010 - 2024