Sikap Politik PEMBEBASAN: Hari Hak Asasi Manusia Internasional

date
Dec 10, 2014
slug
sikap-politik-pembebasan-hari-ham-internasional-2014
status
Published
tags
Sikap
summary
Dalam rangka peringatan hari HAM Internasional ini, kami dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) berpendirian bahwa persoalan HAM adalah persoalan penting, tidak semata persoalan kemerdekaan individu melainkan menyangkut banyak aspek termasuk ekonomi dan politik, hak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, jaminan mengeluarkan pendapat, jaminan kesejahteraan.
type
Post
Property
notion image
Sumber gambar: humanrights.gov
 
Hak Asasi Manusia
Pada awalnya, yang dipersoalkan adalah batas-batas kekuasaan para raja dan para ulama gereja yang masing-masing mengklaim bahwa kekuasaannya bersifat mutlak dan segala titah-titahnya bersifat universal, mengikat sesiapapun namun tak pernah akan mengikat dirinya sendiri. Konflik memperebutkan kekuasaan tertinggi dalam penataan tertib dunia ini terjadi antara Paus Gregorius VII dan Kaisar Heinrich IV dari Sachsen (yang berakhir pada tahun 1122), yang dalam riwayatnya melahirkan untuk pertama kalinya konsep the rule of law untuk menggantikan the rule of man (kalaupun yang namanya the man ini adalah Paus atau Kaisar). Konsep law sebagai hasil kesepakatan-yang serta merta lalu berstatus (state < staat) supremasi-Ini terwujud kembali untuk menyelesaikan konflik kekuasaan, kali ini antara Raja John I dari Inggris dengan para baron yang beraliansi. Kesepakatan dicapai di Runnymede pada tahun 1215, yang hasil-hasilnya dituangkan ke dalam suatu piagam atau charter yang dinamakan Magna Carta yang di kemudian hari dibilangkan sebagai suatu konstitusi yang berfungsi membatasi kekuasaan raja.
Pergulatan HAM menempuh jalan begitu panjang, bisa dikatakan sebagai hasil dari revolusionernya perkembangan kelas dalam masyarakat yang menuntut perubahan. Itulah capaian positif dari masyarakat sebelumnya yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekarang, sebagai aturan/norma kemanusiaan.
Pergulatan HAM di Indonesia: penguasa vs rakyat miskin
Prabowo Subianto, Wiranto, penjahat HAM berat masih bisa nyapres, bahkan A.M Hendropriyono, sebagai penjahat HAM justru dijadikan Jokowi menjadi menterinya. Kasus 1965, Tanjung Priok, pembunuhan Munir dan Marsinah, wartawan Udin, dan panjang sekali deret ukur kekejaman Negara kepada rakyat yang tidak bisa selesai. Terabaru adalah meninggalnya satu mahasiswa di Makassar ketika berjuang menolak kenaikan harga BBM. Belum lagi kasus pembunuhan di Papua terjadi sejak tahun 1967 hingga sekarang.
Sehingga, melihat Indonesia dari kacamata HAM bisa dipastikan anda akan gagal total memahaminya apalagi pelanggaran HAM-nya dilakukan penguasa, meski pula sudah berjubel aturan legal yang dipajang di tembok-tembok kantor pemerintah. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan sebuah tataran ide/gagasan (hasil dari suprastruktur) yang lahir dari situasi-situasi perkembangan peradaban manusia tiap periode zamannya. Maka, tuntutan-tuntutan untuk menegakkan HAM harus semakin didekatkan (direvolusionerkan) dengan kepentingan perjuangan kelas proletar. Karena, gagasan tentang HAM merupakan hasil dari pergolakan manusia (sebagai tenaga produktif) yang dalam perkembangannya selalu direvolusionerkan oleh kemajuan-kemajuan tenaga produktif, yaitu manusia. Fungsi HAM adalah memberikan jaminan agar manusia bisa mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai warga masyarakat.
Di Indonesia, diskursus mengenai Hak Asasi Manusia dan turunannya sudah diwujudkan dalam UUD 45 pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1. Selain itu terdapat beberapa kovenan internasional yang diadopsi Indonesia dengan Undang-Undang yang menjamin hak sipil-politik, hak ekonomi-sosial-budaya, hak anak, penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Namun jika disinggung mengenai aplikasinya, tentu menuntut jalan yang lebih panjang lagi.
Persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tak kunjung diselesaikan berpangkal pada 4 penghambat utama, yakni: 1. Keberanian dari pemerintah, 2. Kepentingan komoditas politik, 3. Perangkat hukum (aparat dan payung hukumnya-ratifikasi, UU, hukum formal) kurang maksimal untuk bisa mengadili pelanggar Hak Asasi Manusia, 4. Kesadaran masyarakat yang menyangkut knowledge mengenai penegakan Hak Asasi Manusia.
Padahal, masyarakat Indonesia dan para aktivis pejuang Hak Asasi Manusia tak berjeda berjuang dalam beragam bentuk tuntutan dan aksi serta mekanisme hukum; terus menerus menuntut pemerintah untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat yang dilanggar hak asasinya agar para pelakunya diganjar hukuman. Sebagai contoh, ±336 kali, sejak tahun 2007, Jaringan Solidaritas Korban dan Keluarga Korban (JSKK) pelanggaran Hak Asasi Manusia melakukan aksinya setiap hari Kamis, di depan Istana Negara-tekanan itupun baru berhasil menuntaskan kasus Munir saja (dengan kekecewaan atas hasilnya karena dirasa tidak adil).
Sepanjang tahun 2011–2013 Presiden telah meminta bantuan kepada tiga pihak yaitu, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) membentuk tim kecil penanganan HAM berat masa lalu, Wantimpres bidang Hukum dan HAM membuat draft konsep penyelesaian, dan Kemenkum HAM, diberikan mandat oleh presiden untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu. Namun, kasus HAM masih berhenti di Kejaksaan Agung dan sampai sekarang tak jelas kabarnya.
Secara hukum, tidak banyak dan tidak signifikan hasilnya. Menurut matriks Kontras tahun 2006, dari tiga kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat seperti Timor Timur 1999, Tanjung Priok 1984, dan Abepura, sebagian besar divonis bebas, sebagian lagi dalam proses kasasi, dan sebagian kecil yang dihukum pun kini sudah bebas, dan itupun tidak mampu menjangkau jenderal-jenderal otak pelanggaran Hak Asasi Manusia tersebut. Sejauh ini hukum hanya menjangkau para pelaku lapangan-itupun hanya untuk kasus-kasus tertentu yang mendapat sorotan dan tekanan politik yang besar. Perangkat hukum juga harus diperbanyak dari UU nya hingga penguatan lembaga HAM itu sendiri seperti belum diratifikasinya Statuta Roma oleh Indonesia yang bisa memberi jalur untuk menyeret pelaku HAM Indonesia ke pengadilan HAM internasional di Den Haag (International Criminal Court-ICC).
Dalam rangka peringatan hari HAM Internasional ini, kami dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) berpendirian bahwa persoalan HAM adalah persoalan penting, tidak semata persoalan kemerdekaan individu melainkan menyangkut banyak aspek termasuk ekonomi dan politik, hak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, jaminan mengeluarkan pendapat, jaminan kesejahteraan. Sehingga momentum ini kami mengajak pada seluruh rakyat Indonesia untuk bersama berjuang menegakkan HAM dan bersama menuntut:
 
1. Laksanakan secara maksimal aturan legal yang menjamin HAM;
2. Tangkap, adili dan penjarakan penjahat HAM;
3. Tuntaskan kasus pelanggaran HAM masa silam;
4. Ratifikasi Statuta Roma;
5. Bangun pengadilan Ad Hock HAM di Indonesia.
 
Terimakasih, salam juang, terus berkobar!
Jakarta, 10 Desember 2014
Ketua Umum Arie Lamondjong, S.IP
Pjs. Sekjend Moken Taufiq, S.Pd

© PEMBEBASAN 2010 - 2024