Hati-Hati Ada Segerombolan Komprador

date
May 14, 2022
slug
hati-hati-ada-segerombolan-komprador
status
Published
tags
Artikel
summary
Bukanlah pejabat pemerintah, juga bukan komite-komite keselamatan ataupun lembaga-lembaga lainnya yang mengadakan revolusi, tetapi rakyat tertindas! Untuk menghentikan laju revolusi itu, maka para penindas akan menggerakkan pasukan bersenjata, membayar para filosof-filosof, kaum agamis, dan kelompok intelektual.
type
Post
Property
notion image
“Bukanlah pejabat pemerintah, juga bukan komite-komite keselamatan ataupun lembaga-lembaga lainnya yang mengadakan revolusi, tetapi rakyat tertindas! Untuk menghentikan laju revolusi itu, maka para penindas akan menggerakkan pasukan bersenjata, membayar para filosof-filosof, kaum agamis, dan kelompok intelektual”
Ketika gejolak krisis ekonomi-politik tahun 1965 di Indonesia memuncak, terdapat peran aktif dari gerakan mahasiswa yang tidak hanya berhasil menumbangkan rezim Soekarno, namun turut melatarbelakangi terjadinya peristiwa pembantaian massal terhadap 500 ribu-3 juta rakyat Indonesia yang dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keberhasilan Jenderal Soeharto dan Angkatan Darat –dalam memanfaatkan ketidakberdayaan Soekarno sebagai presiden lewat Supersemar (Surat Perintah 11 Maret)—mengorganisir gerakan mahasiswa yang tergabung dalam wadah bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang yang dianggap anggota atau simpatisan PKI.
Mayor Jenderal TNI-AD Mohammad Syarif Thayeb yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, tercatat terlibat dalam pembentukan KAMI. Wadah ini kemudian dengan cepat mendapat dukungan dari golongan agama (Pemuda Ansor) dibawah naungan NU (Nahdlatul Ulama), mantan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan TNI-AD.
KAMI sendiri terdiri dari berbagai organisasi mahasiswa, antara lain Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia (SEMMI), Pelopor Mahasiswa Sosialis Indonesia (PELMASI), Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS), Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (GERMAHI), Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD), Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA), Corpus Studisorum Bandungense (CSB), Masyarakat Mahasiswa Bogor (MMB), Ikatan Mahasiswa Bandung (IMABA), Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB),  dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Persatuan ini dirancang untuk mendelegitimasi kekuasaan Soekarno yang dianggap gagal dalam menangani krisis ekonomi pada tahun 65 dan menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta seluruh organisasi di bawah naungannya. Tuntutan ini dilatarbelakangi oleh peristiwa G30-S. Gerakan mahasiswa di masa ini kemudian dikenal dengan nama Angkatan 66.
Peluang ini dengan cepat diambil oleh Angkatan Darat. Peneliti Indonesia asal Prancis, Francois Raillon, menyatakan bahwa Angkatan 66 anti partai politik, tapi pro Angkatan Darat. Peneliti buku Mahasiswa Indonesia dan Orde Baru itu menyatakan hubungan mereka dengan militer sifatnya seperti kakak-adik.[i]
Kerjasama dengan mahasiswa itu sangat berguna sekali bagi tentara, yang tidak bisa melontarkan kritik apalagi menentang atasannya sendiri, Presiden Soekarno. Karena itu, KAMI/KAPPI yang buka mulut. "Memang mereka dipakai atau barangkali diperalat oleh kakaknya yang militer itu," (Raillon, 1997).
Pada akhirnya sejarah tertoreh bahwa kedekatan KAMI dan militer turut mendorong berdirinya pemerintahan Orde Baru di bawah kediktatoran Soeharto. Setelah kekuasaan diambil alih Soeharto, pimpinan-pimpinan KAMI diberi kursi jabatan –baik sebagai menteri, anggota DPR/MPR[ii]— sebagai balas jasa mereka dalam mendukung kudeta merangkak Soeharto. Kudeta yang disertai dengan pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap sebagai simpatisan PKI selama periode 1966-1968. Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa ada peran mahasiswa dalam proses pembentukan Indonesia di masa-masa yang paling krusial, dan sayangnya hal ini berakhir tragis dengan berkuasanya rezim penuh darah bernama Orde Baru.
KAMI kemudian bubar pada tahun 1969. Posisi mereka mulai tidak diperlukan oleh rezim Soeharto. Sebagian anggotanya kemudian masuk ke dalam kegiatan politik praktis dengan bergabung dengan partai borjuis. Sementara sebagian lainnya membangun wadah persatuan konspirasi baru, yakni "Kelompok Cipayung", di Jawa Barat pada 22 Januari 1972.
Orang-orang yang berpengaruh dalam membentuk Kelompok Cipayung di antaranya; Akbar Tanjung (Ketua Umum PB-HMI), Soerjadi (Ketua Umum DPP-GMNI), Chris Siner Key Timu (Ketua Umum PP-PMKRI), dan Binsar Sianipar (Ketua Umum PP-GMKI). Cipayung secara tegas bahwa prinsip mereka adalah prinsip gerakan moral, bukan gerakan politik.
Prinsip gerakan moral yang “malu-malu” ini kemudian lagi-lagi dimanfaatkan oleh militer, namun kali ini oleh faksi militer yang tengah berseteru, yakni kubu Jenderal Soemitro dan Mayjen Ali Moertopo. Sehingga pecahnya Malari 1974 (yang menimbulkan banyak korban)[iii] juga tidak bisa dilepaskan dari peran gerakan mahasiswa yang kesekian kalinya berhasil dikooptasi oleh militer. Imbas dari peristiwa ini adalah semakin represifnya pemerintahan Soeharto. Gerakan mahasiswa semakin dibatasi. Bahkan untuk  semakin menguatkan cengkeramannya di kampus, Orde Baru menerbitkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
Komprador masa kini
Beberapa waktu lalu, para ketua dari organisasi yang tergabung dalam kelompok oportunis "Cipayung Plus" bertemu dengan Jokowi di Istana Kepresidenan. Mereka di antaranya:
  1. Raihan Ariatama, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)
  1. Jefri Gultom, Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI)
  1. Muhammad Abdullah Syukri, Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII)
  1. Benidiktus Papa, Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI)
  1. I Putu Yoga Saputra, Ketua Umum Pengurus Pusat Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI)
  1. Abdul Musawir Yahya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiah (DPP IMM)
  1. Wiryawan, Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia (PP HIKMAHBUDHI)
  1. Muhammad Asrul, Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
  1. Rafani Tuahuns, Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII)
  1. Iqbal Muhammad Dzilal, Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (HIMA PERSIS)
  1. Zaki Ahmad Rivai, Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI)
  1. Arjuna Putra Aldino, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI)
Kelompok ini tampak merasa sangat bangga dan terhormat bisa bertemu langsung dengan Jokowi. Hal ini tampak dalam konferensi pers usai acara pertemuan tersebut. Raihan Ariatama, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), yang mewakili kelompok ini mengatakan "Kami mendapatkan energi positif kepemimpinan beliau yang sangat luar biasa hari ini," Rabu, 23 Maret 2022.
Topik pembahasan dalam pertemuan antara kelompok “HAMASISWA”[iv] dengan presiden ini salah satunya adalah proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang kontroversial. Bagi saya, ajang pertemuan dan topik pembahasan ini sungguh tidak sensitif terhadap kesulitan-kesulitan yang tengah dihadapi oleh rakyat. Terutama krisis minyak goreng dan melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok dalam beberapa waktu terakhir.
Saya masih ber-husnodzon bahwa pertemuan ini adalah manuver pribadi ketua atau elit-elit organisasi di atas dan bukan merupakan representasi dari seluruh anggotanya. Namun hingga tulisan ini dibuat, saya belum menemukan satu pun kritikan, baik itu lisan maupun tulisan dari anggota yang tidak sepakat dengan tindakan ketuanya.
Hipokrisi dalam tubuh organisasi-organisasi di atas tampak hanya dalam hitungan hari saja. Tepatnya pada 11 April 2022 mereka turut dalam demonstrasi wacana perpanjangan masa jabatan presiden, penolakan kenaikan harga BBM, dan kelangkaan minyak goreng. Sembari tinggi-tinggi mengibarkan bendera organisasinya, mereka turut mencaci pemerintahan yang seminggu sebelumnya ditemui dan dipuja-puji oleh para ketua organisasinya.
Tabiat
Sebagai pemuda yang tumbuh di Kota Bima, tabiat oportunis yang menjangkiti organisasi mahasiswa di atas sudah menjadi rahasia umum. Mereka kerap terlihat paling vokal dalam permasalahan rakyat Bima, namun kemudian menjadikannya alat bargaining kepada pemerintah daerah demi mendapatkan recehan, seperti beasiswa. Sebutlah kasus-kasus yang akhirnya menguap seperti tambang pasir besi di Kecamatan Ambalawi (2020), perampasan tanah di Kecamatan Tambora (2016), kasus tambang di Kecamatan Sape (2011), Mesjid Terapung, kelangkaan pupuk, mahalnya harga pestisida, korupsi Bansos, dan perampasan tanah oleh Walikota Bima (2020). Seluruh kasus real tersebut hampir selalu dijadikan alat tawar kepada pemda. Saya sendiri sempat diajak membuat proposal bantuan ke pemda dengan “menjual” aksi mahasiswa dalam merespon kasus-kasus di atas.
Saya semakin dibuat tak habis pikir ketika pada aksi 11 April lalu merilis poster seruan aksi seperti berikut:
Cipayung Bima menyelipkan poin yang teramat reaksioner, yakni “Tetapkan KKB sebagai Teroris Negara”. Tuntutan ini merupakan sebuah sikap yang mendukung tindakan negara dalam menghadapi perlawanan bersenjata di Papua. Padalah penetapan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) sebagai teroris telah banyak ditentang oleh banyak kalangan, mulai dari masyarakat Papua sendiri, aktivis Papua, serta kelompok pegiat HAM dan Demokrasi. Hal ini karena hanya akan semakin meningkatkan ekskalasi kekerasan di Papua.
Aktivis Hak Asasi Manusia Papua, Yones Douw, menilai penetapan kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB sebagai organisasi teroris hanyalah akal-akalan Jakarta untuk menutupi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua. Penetapan TPNPB sebagai teroris itu menunjukkan pemerintah pusat memang tidak ingin menuntaskan kasus pelanggaran HAM itu. Amnesty Indonesia juga menyebut tindakan ini sebegai bukti kegagalan pemerintah Indonesia dalam memahami akar permasalahan di Papua.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bahkan menyebut bahwa secara pidana, penggunaan UU Terorisme untuk KKB di Papua akan menimbulkan banyak masalah. Misalnya, dalam UU Terorisme, terdapat ruang terjadinya “incommunicado detention” atau penahanan tanpa adanya akses informasi dari dalam atau luar terhadap tersangka, termasuk tidak adanya akses untuk bertemu keluarga ataupun penasihat hukum untuk mendapatkan bantuan hukum.
Hal tersebut dikarenakan lamanya masa penangkapan, yaitu total 21 hari (Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Terorisme). Sebagai pembanding, dalam KUHAP, penangkapan hanya 1×24 jam. Permasalahanya, berbeda dengan penahanan dimana penyidik harus melampirkan secara jelas di mana tempat penahanan dilakukan, adanya akses komunikasi dengan keluarga dan advokat, serta pemenuhan hak-hak lain, dalam tahapan penangkapan, hal itu tidak diatur secara tegas. Secara internasional, praktik-praktik seperti ini dianggap sebagai pelanggaran HAM, karena membuka ruang terjadinya penyiksaan dan hilangnya hak dari tersangka untuk berkomunikasi dengan keluarga atau advokat.
Melalui penetapan ini, Indonesia tengah menambah amunisi baru ke Papua yang berpotensi memperpanjang daftar pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Padahal rangkaian pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu saja belum ada satu pun yang diusut secara tuntas. Maka sikap Cipayung Bima di atas menunjukkan kelaliman mereka dalam menyikapi permasalahan di Papua sekaligus mengamplifikasi pendekatan keamanan yang telah berpuluh-puluh tahun tak membuahkan hasil apapun kecuali darah dan air mata.
TPN-PB bukanlah KKB ataupun teroris, tapi pejuang kemerdekaan Papua Barat
Pada tanggal 1 Desember 1961 adalah hari paling bersejarah bagi rakyat bangsa West Papua. Meskipun kebahagiaan mereka hanya bertahan selama 18 hari. Karena, pada 19 Desember 1961, Soekarno melancarkan invasi militer lewat operasi Trikora sebagai awal kolonisasi dan menebar ketakutan di tanah West Papua. Sebuah bangsa yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya dari kolonial Belanda, kembali dijajah oleh Indonesia lewat Operasi Sorong, Operasi Biak, dan Operasi Jayawijaya (1962);  Operasi Wisnu Murti I dan II (1963-1964); Operasi Khusus Persiapan Pepera (1961-1965); Operasi Bharatayudha (1966-1968); Operasi Wibawa (1968-1969); Operasi Pamungkas (1969-1973); Operasi Koteka dan Operasi Senyum (1977-1978); Operasi Gagak (1985-1990); dan Operasi Rajawali (1990-1998).
Pada 1 Juli 1971, beberapa kaum intelektual, kepala suku-adat Papua yang bergerak di hutan-hutan memproklamasikan kemerdekaan bangsanya di tengah operasi militer Indonesia yang semakin masif. Proklamasi kemerdekaan tersebut adalah sebuah sikap politik secara tegas yang mewakili keinginan rakyat Papua atas penjajahan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Termasuk menentang hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang tidak demokratis pada tahun 1969. PEPERA adalah siasat pemerintah saat itu untuk memaksa masuk West Papua menjadi bagian dari NKRI.
Maka untuk melawan tindakan ini sekelompok rakyat West Papua mendirikan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) 26 Maret 1973, bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dan rakyat Papua dari kolonialisme Indonesia. Maka berdirinya TPN-PB adalah respon atau konsekuensi logis dari tindakan Indonesia dalam melakukan cara-cara kekerasan dalam meng-Indonesia-kan Papua.
Indonesia, sejak kepemimpinan Soekarno sampai dengan kepemimpinan Soeharto, sudah menjadi negara penjajah atas teritori West Papua. Berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan; penghilangan paksa kurang lebih 500.000 nyawa orang Papua. Lewat operasi militer, pemerintah Indonesia telah melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang terhadap aktivis, penculikan, mutilasi, penembakan, hingga pemerkosaan terhadap perempuan Papua. Hal itu masih terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang sekarang di bawah kepemimpinan Jokowi.
Bom-bom dijatuhkan, rumah-rumah, gedung sekolah dan rumah sakit dijadikan pos-pos pengamanan oleh militer Indonesia. Ribuan pasukan gabungan yang bersenjata lengkap bergentayangan di seluruh perkampungan dan distrik. Menyisir hutan-hutan dan pemukiman warga sipil dengan dalih menciptakan keamanan..
Tindakan militer Indonesia tidak pernah dikukuhkan sebagai suatu tindakan terorisme, melainkan dianggap sebagai tindakan yang mulia dan patriotisme. Demi menguasai sumber daya alam Papua dan memperbaiki sistem kapitalisme yang sedang krisis, pemerintahan Indonesia justru melabeli TPN-PB sebagai teroris.
Pengiriman militer ke wilayah West Papua oleh pemerintah Indonesia tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru akan menambah deretan kasus pelanggaran HAM. Pendekatan militeristik bukanlah solusi atas masalah kebangsaan yang sedang terjadi di West Papua. Operasi militer nyatanya hanya alat untuk menjaga kepentingan bisnis terutama di sektor tambang. Akibat operasi militer ini orang asli Papua terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan mengungsi ke hutan pedalaman. Operasi dari militer Indonesia sejak 2018-2021 telah mengakibatkan sekitar 50.687 orang harus dalam pengungsian.
Di tengah kondisi West Papua darurat demokrasi dan HAM seperti saat ini; siapakah sesungguhnya yang teroris di atas tanah West Papua? Tentu jawabanya, bukanlah TPNPB, bukan OPM. Akan tetapi pemerintah Indonesia dengan segala alat represifnya! Hanya karena mereka berkuasa, maka dengan sukar, aksi-aksi kekerasan menjalar sebagai kekuatan terorisme.
Ingat, bahwa stigmatisasi terorisme terhadap TPNPB dan OPM akan berimplikasi besar bagi keberlangsungan pemenuhan HAM khususnya bagi rakyat West Papua. Stigmatisasi tersebut juga akan berpotensi besar pada pembungkaman hak-hak berekspresi menggunakan kekerasan dan kriminalisasi.
Selama 2019-2020 Papuan Behind Bars mencatat setidaknya ada 418 orang yang ditangkap ketika menyurakan aspirasi secara damai terkait permasalahan Papua. Kemudian sekitar 109 orang aktivis Papua masih mendekam dipenjara karena menyampaikan aspirasi sejak tahun 2020 lalu. Kedua data ini bahkan belum mencakup kekerasan yang menyertai penangkapan-penangkapan di atas.
Hanya pemerintah Indonesia saja yang menganggap TPNPB dan OPM sebagai separatis, kelompok kriminal bersenjata, hingga yang terbaru ini adalah teroris. Karena penetapan TPN-PB dan OPM sebagai teroris merupakan usaha untuk menyembunyikan agenda-agenda kapitalis global dan melalui elit oligarki  Indonesia di atas tanah West Papua. Sedangkan bagi Hukum Humaniter Internasional mereka disahkan sebagai kelompok kombatan. Yang harus kalian catat, bahwa bagi rakyat West Papua dan para solidaritas untuk perjuangan bangsa West Papua di Indonesia, TPNPB dan OPM adalah pejuang pembebasan nasional bangsa Papua dari kolonialis Indonesia.
Apa yang harus dilakukan oleh kaum revolusioner?
Setidaknya dalam 3 tahun terakhir dinamika politik di Indonesia tengah bergerjolak. Hal ini ditandai dengan terjadinya gelombang protes #ReformasiDikorupsi dan penolakan Omnibus Law, dan yang terakhir adalah aksi 11 April 2022. Namun dapat saya katakan bahwa seluruh aksi protes itu gagal dalam memenangkan beragam tuntutannya. Selain upaya moderasi dari penguasa dan brutalnya represi dari aparatus negara dalam memukul gelombang protes ini (hingga menimbulkan korban nyawa), saya pikir kita harus mengakui bahwa aksi-aksi tersebut adalah aksi spontan yang miskin dengan strategi dan taktik sehingga mudah dipukul balik.
Hal ini juga diperparah dengan limbungnya gerakan mahasiswa yang masih berkutat dengan gerakan moral, elitis, serta oportunis, seperti yang sudah saya tuliskan di atas. Harus saya katakan bahwa aksi 11 April kemarin hanyalah ajang mempertontonkan elitisme mahasiswa sebagai gerakan moral yang terpisah dengan gerakan di sektor lain seperti buruh, buruh tani, dan rakyat miskin kota. Kecenderungan ini memang menyejarah. Sudah saya paparkan di atas, sehingga saya pikir, generasi baru yang kini diberkahi dengan kemudahan akses informasi bisa mencari sumber-sumber sejarah dan jurnal ilmiah untuk menemukan garis merah antara sejarah gerakan di masa lalu dan tabiatnya yang hingga kini masih terasa. Sehingga kita bisa menghentikan lingkaran setan kelamnya gerakan yang bersandar pada para komprador muda ini.
Disahkannya Omnibus Law adalah salah satu kekalahan besar gerakan rakyat yang berarti keberhasilan pemerintahan borjuis Indonesia dalam memuluskan agenda kapitalis global dalam mengeruk SDA Indonesia sekaligus mempreteli hak-hak buruh rakyat pekerja Indonesia. Mulai dari kepastian kerja, penetapan upah yang tidak lagi berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) serta dan penghapusan syarat AMDAL pada investasi.
Belakangan dengan kelangkaan minyak goreng dan naiknya harga BBM dan kebutuhan pokok menunjukan bahwa pemerintahan yang berorientasi pada sistem Neoliberalisme seperti di Indonesia hanya akan menjerumuskan rakyatnya pada kubangan krisis. Kita membutuhkan alternatif lain. Menentang argumen Margareth Tatcher: Neoliberalisme terbukti gagal! Dan alternatif lain itu mungkin.
Sayangnya kurangnya kepeloporan dari organisasi revolusioner untuk memobilisasi massa, mengakibatkan gerakan mengalami kebuntuan. Kebuntuan ini tercermin melalui gagalnya gerakan dalam menerjemahkan krisis kenaikkan harga pokok yang terjadi saat ini menjadi gelombang perlawanan yang masif untuk perubahan sosial yang radikal. Tidak hanya itu, ketiadaan prinsip politik yang mandiri dari organisasi-organisasi pun juga berpengaruh dalam membangun gerakan. Situasi ini bisa dilihat pada kecenderungan elit serikat buruh seperti Said Iqbal dan reformis gadungan macam Agus Jabo untuk melenyapkan strategi-taktik yang revolusioner lalu menggantikannya dengan strategi-taktik yang oportunis. Memimpikan terjadinya perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dengan mengikuti pemilu borjuis.
Said Iqbal bersama elit-elit serikat lainnya mendirikan "Partai Buruh" sementara Agus Jabo membangun PRIMA (Partai Rakyat Adil Makmur). Keduanya sama-sama memiliki misi untuk terlibat dalam konstelasi politik praktis pemilu 2024. Padahal kita tahu pemilu di Indonesia adalah pesta demokrasi borjuis, oligarki, dan kaum kaya. Hal ini bisa dilihat pada sulitnya syarat kepesertaan pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Misalnya syarat sebuah partai harus:
  • Memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
  • Memiliki kepengurusan jumlah kecamatan 50% kabupaten/kota yang bersangkutan;
Bisa dilihat bahwa kedua syarat di atas akan sangat sulit sekali dipenuhi oleh gerakan rakyat yang hendak terlibat dalam pemilu. Syarat di atas membutuhkan dana yang luar biasa besar. Syarat ini hanya akan berujung pada politik lobi dengan para “Bohir” borjuis, elit kaya yang tentu memiliki agenda dan kepentingannya sendiri.
Sudah banyak persatuan demokratik yang dibangun di berbagai kota di Indonesia, mulai di kota-kota geopolitik, hingga ke pelosok-pelosok desa. Entah itu di antara elemen Buruh, Tani, Pelajar SMA/STM maupun Mahasiswa. Persatuan demokratik harus didorong menuju ke tahap persatuan kiri (front kiri) untuk menciptakan blok politik alternatif revolusioner.
Di tengah kondisi gerakan yang mengalami pasang-surut dan perpecahan, persatuan kiri sangatlah dibutuhkan. Tidak hanya untuk memperjelas keberpihakan dan memperuncing pertentangan kelas antara kelas penindas dan kelas tertindas. Juga menjadi embrio pembangunan partai yang revolusioner.
Partai Revolusioner yang di dalamnya terdapat kader-kader progresif, mampu memimpin aksi-aksi secara terorganisir, dan menyebarluaskan gagasan yang progresif secara masif. Pada tahap berikutnya adalah menyusun strategi-taktik dan program-program revolusioner yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi materiil rakyat Indonesia saat ini. Hanya partai revolusioner yang mampu membersamai gerakan buruh, buruh tani, rakyat miskin kota, mahasiswa, dan pelajar secara ideologi-politik agar mampu membangun pemerintahannya sendiri melalui REVOLUSI.
“Sosialisme hanya mampu dicapai dengan revolusi, dan revolusi hanya mampu dikerjakan melalui partai revolusioner, dengan strategi-taktik dan program-program yang revolusioner.
Ditulis Oleh: V. Marcel – Staf Departemen Pendidikan dan Propaganda PEMBEBASAN.
Catatan kaki:
(i) Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, 2005:283 (ii) Raillon, F. (1997). Tokoh Indonesia Masa Depan Paradoks Cita-cita sebuah Angkatan. Majalah Forum Keadilan, 28–31. (iii) Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 3, No. 1, 2020: 28-37 (iv) JURNAL CRIKSETRA, VOLUME 4, NOMOR 8, AGUSTUS 2015 (INTRODUCTION TO MALARI: DARI SITUASI, AKSI, HINGGA RUSUH PADA AWAL ORDE BARU 1970-1974) (v) Sebuah istilah baru untuk menunjukan “elit-elit mahasiswa busuk yang enggan berbaur dengan rakyat”
Tulisan ini sebelumnya terbit dalam BULETIN PEMBEBASAN EDISI PERTAMA

© PEMBEBASAN 2010 - 2024