Pernyataan Sikap Aksi Nasional PEMBEBASAN: Jegal Neoliberalisme-Bangun Pemilu Rakyat Miskin

date
Oct 30, 2022
slug
jegal-neoliberalisme-bangun-pemilu-rakyat-miskin
status
Published
tags
Sikap
Rilis
summary
“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.” Begitu tulis Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karyanya “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”.
type
Post
Property
notion image
Salam Pembebasan Nasional!
“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.”
Begitu tulis Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karyanya “Jalan Raya Pos, Jalan Daendels”.
Melalui buku itu Pram menunjukan salah satu peristiwa paling berdarah yang harus dihadapi rakyat Indonesia di masa kolonialisme Belanda. Pram menyebutkan ada 12.000 nyawa bumiputra yang melayang disebabkan oleh proyek ambisius Belanda dalam pembangunan Jalan Raya Pos. Belanda telah pergi, 77 tahun usia negeri ini, 77 tahun merdeka dari kolonialisme. Meski begitu, apakah benar rakyat Indonesia sudah benar-benar menikmati arti kemerdekaan?
Sejak mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia belum pernah benar-benar menjadi bangsa yang mandiri. Indonesia selalu menjadi rumah yang ramah bagi praktek eksploitasi oleh segelintir kelas penguasa, eksploitasi dari manusia kepada manusia lain. Penjajahan berubah rupa, beradaptasi dengan dorongan zaman. Ia tak lagi berupa barisan serdadu berkulit terang, melainkan dominasi ekonomi dan politik.
Pada tahun 65 ketika kemerdekaan Indonesia masih seumur jagung – tahun krusial di mana Indonesia yang sedang mengalami proses penentuan arah pembangunan identitas politik dan ekonominya– lagi-lagi Indonesia dihadapkan dengan peristiwa kelam. Diperkirakan 500 ribu hingga 3 juta orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh dan/atau dihilangkan, sisanya dipenjara sembari melakukan kerja paksa. Seluruhnya dilakukan tanpa adanya melalui proses pengadilan. Genosida ini dimotori oleh Soeharto dan dibekingi oleh CIA di tengah berkecamuknya perang dingin kala itu.
Peristiwa ini tidak hanya menghabisi gerakan kiri yang sedang tumbuh merekah di Indonesia, lebih dari itu menghancurkan seluruh spektrum politik, termasuk gerakan islam politik, dan memenangkan Soeharto bersama kekuatan militernya dalam menentukan arah kebijakan ekonomi maupun politik Indonesia. Militerisme ala Soeharto mampu berkuasa selama 30 tahun lebih dan menjadi karpet merah bagi bagi korporasi-korporasi raksasa dari berbagai negeri imperialis seperti Amerika, Inggris, Jerman, hingga Jepang untuk melakukan ekspansi, mengekstraksi kekayaan alam, dan mengeksploitasi rakyat Indonesia.
Rezim Orde Baru Soeharto membuka lebar pintu bagi korporasi global untuk masuk dan mengakumulasikan modalnya di Indonesia. Salah satu perusahaan raksasa yang diberi keleluasaan oleh Soeharto dan memantik konflik berdarah hingga saat ini adalah Freeport McMoran. Melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967, Freeport melenggang mengeruk kekayaan alam di perut bumi Papua, bahkan sebelum Papua resmi masuk menjadi bagian dari Indonesia.
Asas tunggal Pancasila dijadikan alat oleh Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya selama lebih dari 30 tahun. Ruang demokrasi ditutup serapat-rapatnya. Gerakan buruh tidak sedikit pun diberi kesempatan untuk berdiri. Orde kelam tersebut memperlebar jurang ketimpangan sosial yang ada di Indonesia. Kroni Soeharto yang korup akhirnya mengantarkan Indonesia ke jurang krisis ekonomi yang menerpa Asia pada periode 1997-1998. Krisis ini pula yang akhirnya mampu menumbangkan Soeharto.
Meledaknya gelombang anti-Soeharto mencapai titik didihnya pada tahun 1998. Naiknya harga kebutuhan pokok memantik amarah massa rakyat untuk tumpah ruah ke jalanan menuntut mundurnya Soeharto. Soeharto terjungkal, berganti menjadi orde reformasi.
Reformasi ditandai dengan mulai terbukanya ruang berekspresi, berserikat, dan berkumpul. Wewenang ABRI yang sebelumnya seolah tak ada batas perlahan dilucuti. Meski begitu pilar-pilar Orde Baru tak berhasil luruh sepenuhnya. Mereka masih bercokol di lingkaran elit kekuasaan politik Indonesia hingga saat ini.
Neoliberalisme Indonesia
Pasca kejatuhan Soeharto, para reformis gadungan dan elit sisa Orde Baru segera melakukan rekonsolidasi menyelamatkan sisa-sisa kekuatan politiknya. Membuat kebijakan ekonomi baru yang tak banyak berubah –liberal dan pro pasar– untuk menghadapi krisis kala itu. Sehingga bisa disimpulkan bahwa reformasi tidak mengubah hubungan antara negara dan modal. Meskipun kualitas demokrasi membaik saat reformasi, namun karakternya tetap sama, yakni negara sebagai pelayan bagi kepentingan kelas kapitalis.
Pelayanan ini dilembagakan menjadi serangkaian aturan dan kebijakan guna mempermudah akses kapitalis global untuk membuka pasar di Indonesia. Ideologi yang melatarbelakangi ini adalah Neoliberalisme, di mana negara melepaskan tanggung jawabnya dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat kepada mekanisme pasar. Negara memiliki peran dalam melindungi pasar agar tetap kompetitif, kepemilikan pribadi, serta memperkuat kontrak-kontrak perusahaan swasta.
Beberapa karakteristik  dari Neoliberalisme meliputi:
  • Mengurangi bahkan menghilangkan subsidi
  • Reformasi perpajakan pro pasar (tax holiday, tax amnesty, dsb)
  • Liberalisasi keuangan
  • Nilai tukar kompetitif yang bergantung pada supply dan demand
  • Liberalisasi perdagangan (Meringankan tarif dan dan mempermudah perizinan: Omnibus Law)
  • Kemudahan investasi asing
  • Privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara
  • Deregulasi ekonomi: Menjamin tidak ada korupsi, dan
  • Penegakan hukum untuk melindungi sektor swasta
Seluruh rezim di Indonesia pasca Orde Lama Soekarno memiliki karakteristik di atas dalam kebijakan ekonominya. Yang teranyar rezim Jokowi-Maruf secara resmi mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 3 September lalu. Pencabutan subsidi ini mengakibatkan kenaikan harga BBM hingga sebesar 30%.
Kenaikan harga BBM ini langsung berdampak pada meningkatnya tingkat inflasi mencapai 1,1% yang berimbas pada kenaikan harga-harga barang dan jasa. Kenaikan harga barang ini sudah bisa terprediksi karena BBM merupakan kebutuhan paling mendasar dalam kegiatan ekonomi masyarakat di Indonesia. Rantai distribusi yang panjang ditambah dengan buruknya sistem transportasi publik mendorong besarnya konsumsi BBM.
Saat ini ongkos transportasi sudah melakukan penyesuaian tarif sehingga efek rambatannya akan dirasakan sektor logistik dan sektor lainnya. Inflasi September dan Oktober 2022 diproyeksi bisa tembus 6,5%-7% dna angka kemiskinan 2022 bisa naik ke 10,3-10,6%. Kenaikan harga BBM juga akan memicu terjadinya gelombang PHK massal.
Hal ini dapat berimbas pada melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia. Indonesia pernah mengalaminya ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikan harga BBM pada tahun 2005. BPS mencatat pada 2006, jumlah penduduk miskin di Indonesia naik menjadi 39,30 juta jiwa dari 35,10 juta jiwa tahun sebelumnya. Begitu pula dengan tingkat kedalaman kemiskinan, yang naik menjadi 3,43 dari 2,78. Tingkat keparahannya juga naik menjadi 1 pada 2006, dari sebelumnya 0,76 pada 2005.
Kebijakan pencabutan subsidi ini adalah karakteristik khas dari Neoliberalisme. Jokowi berdalih kenaikan harga BBM harus dilakukan karena subsidinya selama ini telah membebani APBN dan tidak tepat sasaran. Kebijakan ini merupakan satu dari sekian banyak kebijakan pemerintahan Jokowi yang menunjukan borok Neoliberalisme yang selama ini terus dilanggengkan oleh sederet rezim yang berkuasa di Indonesia.
Sebelumnya rezim Jokowi juga sudah menunjukan belang kebijakannya dengan mensahkan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law. Omnibus Law merupakan perangkat hukum yang dibuat guna menambah fleksibilitas tenaga kerja. Hal ini ditengarai akan membuka peluang investasi lebih besar sehingga membuka lapangan kerja.
Omnibus Law dikebut dan inkonstitusional. Hal ini dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Namun nyatanya di lapangan Undang-Undang ini melenggang. Pemerintahan Jokowi menutup rapat mata dan telinga dari gelombang protes penolakan yang berulang kali digaungkan oleh kelompok buruh, mahasiswa, hingga akademisi. Melalui Omnibus Law perusahaan memiliki wewenang lebih dalam penentuan upah serta kontrak kerja dengan buruh. Tak hanya itu Undang-undang ini semakin melemahkan daya tawar buruh di hadapan perusahaan.
Di banyak negara Neoliberalisme telah gagal. Neoliberalisme memperlebar jurang ketimpangan dan meningkatkan angka kemiskinan. Chili dan Brazil adalah dua contoh negara yang gagal menerapkan Neoliberalisme. Chili yang bahkan merupakan laboratorium Neoliberalisme memiliki angka ketimpangan yang sangat tinggi. Dikutip dari Reuters, kesenjangan pendapatan antar warga Chili sebesar 65 persen. Ketimpangan ini terlihat jelas pada sektor pendidikan. Privatisasi yang digencarkan menitikberatkan peran swasta dalam menyediakan pendidikan berkualitas yang tentu saja harganya mahal.
Gejala ini pun sudah terlihat gamblang terjadi di Indonesia.  Anak-anak dari keluarga miskin sulit untuk mengenyam pendidikan hingga tingkat tinggi. Umumnya hanya mampu bersekolah dari bangku Sekolah Dasar sampai SMP. Kualitas pendidikan yang diperoleh pun berbeda-beda, tergantung wilayah. Akhirnya, anak-anak dari keluarga miskin tak mampu mengakses hal-hal yang memungkinkannya memiliki kemampuan yang dibutuhkan pasar dan kehilangan kesempatan mendapat pekerjaan yang baik guna memperbaiki kondisi perekonomiannya. Lingkaran kemiskinan menjadi sulit terputuskan.
Pada 15 November nanti Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan G20. G20 adalah bentuk reaksi negara-negara kapitalis terhadap krisis kapitalisme di Asia pada akhir 1990an. Berawal dari sebuah pertemuan-pertemuan kecil dan non-formal, kini G20 berubah wujud menjadi wadah konsolidasi yang lebih kuat. Pada tahun 2008, ketika krisis kapitalisme melanda AS dan meluas ke negara lainnya, pertemuan secara lengkap dan terorganisir pertama kali dilakukan. Pertemuan tersebut dinamai G20-Summit.
G20-Summit sebagai bentuk deklarasi konsolidasi para negara kapitalis. Setidaknya ada kata kunci yang perlu menjadi perhatian dalam deklarasi tersebut, yakni konsolidasi fiskal, makna lainnya adalah perlunya memangkas defisit pemerintah. Hal ini menyebabkan pemangkasan subsidi-subsidi yang bersifat sosial seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi umum, dsb. Kata kunci lainnya adalah perlawanan terhadap bentuk proteksionisme yang merujuk pada “perdagangan bebas”.
Sejak pertemuan G20-Summit yang membuahkan sebuah deklarasi seruan ekspansi kapital, pertemuan terus berlangsung setiap tahunnya. Tidak ada yang berubah, tidak ada yang istimewa dari setiap pertemuannya. Pertemuan G20 tidak lebih dari konsolidasi misi eksploitasi alam dan kelas pekerja. Tahun ini, G20 hadir dengan wajah heroiknya, menggunakan narasi penyelamatan umat manusia dari keterpurukan ekonomi pasca pandemi. Namun kenyataannya, G20 tidak lebih dari sebuah film yang klise. Mereka mencoba bangkit dari kegagalan dengan cara yang terbukti telah gagal.
Maka dari itu, G20 di Indonesia jelas harus ditolak. Tidak ada kompromi untuk sebuah konsolidasi ekonomi negara-negara neoliberal. Ini adalah momen bagi seluruh elemen rakyat tertindas untuk menunjukan, bahwa pemerintah Indonesia harus segera berpihak kepada rakyatnya, bukan ikut serta dalam pertemuan para imperialis.
Pemilu Rakyat Miskin
Pemilu masih 2 tahun lagi, namun partai borjuasi sudah berlomba-lomba meninggikan baliho. Tak sedikit pula partai yang sudah berancang-ancang mendeklarasikan calon presiden yang akan diusungnya kelak. Padahal kondisi perekonomian rakyat tengah dilanda kesulitan usai kenaikan harga BBM. Masing-masing partai borjuasi saling adu janji, adu meriah panggung musik, adu bagi-bagi kaos gratis. Ya, itulah suasana khas pemilu, layaknya hari besar yang perlu disambut dengan gegap gempita. Namun kenyataannya, pemilu di Indonesia tidak lebih dari sebuah “permen”, ia hanya penenang agar “si kecil” tidak menangis. Melalui pemilu, rakyat Indonesia dibuat lupa akan persoalan yang mendasar, yang dihadapinya sehari-hari di pabrik, di kampus, di jalanan. Rakyat Indonesia dipaksa bergembira bersama janji-janji para partai borjuasi.
Pemilu telah berhasil menjadi senjata yang ampuh bagi para elit politik borjuasi untuk menaklukan rakyat miskin. Rakyat miskin dilihat tidak lebih dari sebuah selembar kertas yang akan mengisi kotak suara. Para elit politik hanya akan sibuk memastikan kampanyenya berjalan dan memastikan saingannya tidak melampauinya. Inilah yang dinamakan pemilu borjuasi. Tidak ada ruang bagi kelompok miskin dalam pemilu semacam ini. Lebih buruknya lagi, mereka menamai ini sebagai pesta demokrasi, itu jelas pendusta! Dalam makna yang sempit sekalipun, pemilu yang berulang kali terjadi di Indonesia tidaklah demokratis. Pemilu yang secara sistematis melalui regulasi membatasi kelompok miskin berpartisipasi secara leluasa. Hanya kelompok pemodal lah yang mampu mendirikan partai politik untuk diikutsertakan pada pemilu. Hal ini jelas menunjukan bahwa pemilu tidak mampu menjadi representasi rakyat Indonesia, sebab di dalamnya hanya berisikan kaum borjuasi yang kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki di atas penderitaan rakyat.
“Pemilu Rakyat Miskin” adalah diksi yang kami ambil sebagai bentuk penolakan terhadap kontestasi pemilu borjuasi 2024. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, pemilu 2024 adalah ajang para kelas penguasa untuk membagi-bagi kue kekuasaan. Tidak ada keterlibatan Rakyat secara aktif melainkan sederet angka yang disebut sebagai pemilih. Sehingga ajang ini hanya ajang untuk mempertahankan atau memindahkan kekuasaan di antara para penindas.
“Pemilu Rakyat Miskin” adalah ide tandingan dari pemilu borjuasi. Ide ini mengarusutamakan Rakyat sebagai pengambil peranan paling penting dalam menentukan representasi serta arah kebijakan ekonomi dan politiknya sendiri. Rakyat memiliki kedaulatan dalam lini-lini produksi paling esensial dan sumber daya alam sehingga dapat memanfaatkannya secara bijak, seiring dengan alam dan lingkungan.
Secara praksis “Pemilu Rakyat Miskin” adalah bentuk lain dari parlemen jalanan sebagai representasi wajah oposan kepada partai-partai borjuis yang eksis di Indonesia saat ini. Oposisi yang sebenar-benarnya terhadap kebijakan pro pasar dan anti rakyat. Oposisi atas penghisapan dan eksploitasi alam serta manusia yang tak berkesudahan. Absennya kutub politik progresif dan kerakyatan dalam kontestasi politik nasional harus segera diakhiri dengan membangun blok politik yang berhadapan vis a vis melawan seluruh instrumen kebijakan politik dan ekonomi yang dimiliki oleh kelas borjuasi. Meskipun
Melalui pernyataan sikap ini, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) mengajak seluruh elemen masyarakat tertindas, mulai dari buruh, petani, perempuan, mahasiswa, pelajar, warga miskin kota, minoritas gender dan seksual untuk menggalang solidaritas seluas-luasnya. Membangun kekuatan politik tandingan bagi para oligarki dan kelas borjuasi guna mewujudkan Pembebasan Nasional sejati, dan bergerak sesegera mungkin  memenangkan tatanan sosial baru yang menjadikan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas hajat hidupnya, yakni Sosialisme.
Sebagai penutup, PEMBEBASAN akan menyerukan beberapa tuntutan, di antaranya:
  1. Turunkan Harga BBM
  1. Kembalikan, Tambah, dan Perluas Subsidi Kebutuhan Dasar Rakyat
  1. Usut dan Adili Aktor-Aktor Pembunuhan Suporter di Kanjuruhan
  1. Cabut Omnibus Law
  1. Bangun industrialisasi (pabrik) nasional serta nasionalisasi industri dan pertam-bangan vital di bawah kontrol buruh dan rakyat.
  1. Hapus utang luar negeri.
  1. Nasionalisasi industri perbankan di bawah kontrol buruh dan rakyat.
  1. Tangkap, adili, dan sita harta koruptor dengan melibatkan rakyat.
  1. Pajak progresif bagi kaum elit dan perusahaan-perusahaan besar.
  1. Pelurusan sejarah masa lalu.
  1. Pembukaan lapangan pekerjaan.
  1. Berlakukan enam jam kerja.
  1. Upah layak nasional untuk kesejahteraan buruh.
  1. Hapus sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing).
  1. Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, feminis, ekologis, dan bervisi kerakyatan.
  1. Kesehatan gratis yang berkualitas.
  1. Kuota 50% untuk perempuan di semua jabatan publik.
  1. Perluas demokrasi, lawan rasisme, dan berikan kebebasan berideologi, beragama, dan berkeyakinan bagi Rakyat.
  1. Pemenuhan hak terhadap kaum disabilitas.
  1. Membela kebebasan identitas dan orientasi seksual.
  1. Pemanfaatan alam untuk kesejahteraan rakyat secara ekologis.
  1. Tanah, modal, dan teknologi modern di bawah komite tani.
  1. Perumahan bersubsidi, modern, dan layak untuk rakyat.
  1. Air bersih dan higienis, BBM, listrik, dan sembilan bahan pokok yang murah.
  1. Bubarkan komando teritorial TNI.
  1. Adili Partai Golkar dan Jenderal pelanggar HAM.
  1. Lawan dan adili milisi sipil reaksioner.
  1. Membangun kebudayaan maju dan kerakyatan.
  1. Menolak pernikahan anak di bawah umur, poligami, dan kekerasan seksual.
  1. Tarik militer dari tanah Papua dan mendukung perjuangan rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
  1. Dekriminalisasi pekerja seks komersial.
  1. Kawal Implementasi UU TPKS
  1. Sahkan RUU PPRT.
  1. Cabut TAP MPRS No. 25 tahun 1966, UU No. 27 tahun 1999, UU Cipta Kerja, UU PSDN dan UU Minerba, serta revisi UU ITE.
  1. Revisi UU Ormas, UU Pemilu, dan UU Partai Politik
  1. Revisi peraturan perundang-undangan tentang aborsi sehingga rakyat bisa mendapatkan akses aborsi yang aman dan bebas dari stigma negatif.
  1. Destigmatisasi dan dekriminalisasi pengguna narkotika.
  1. Akui dan penuhi hak-hak masyarakat adat.
  1. Upah layak untuk pekerja domestik.
  1. Subsidi kebutuhan petani.
  1. Jaminan perlindungan dan kepastian kerja bagi driver ojek online
  1. Lawan komersialisasi pendidikan dan wujudkan demokratisasi kampus.
  1. Hentikan Proyek Pembangunan Tambang di Wadas
  1. Bangun dewan mahasiswa dan majelis civitas akademika.
  1. Bentuk pengadilan perselisihan akademik.
  1. Lawan diskriminasi berbasis gender, suku, agama, ras, orientasi seksual dan disabilitas, dalam kehidupan kampus.
  1. Kampus bebas dari kekerasan seksual.
  1. Bangun ruang aman bagi perempuan, minoritas orientasi seksual, identitas gender dan kaum minoritas lainnya di ranah akademik.
  1. Kampus bebas dari intervensi militer dan bubarkan Menwa.
  1. Hapus perpeloncoan dan budaya senioritas.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Pembebasan Nasional adalah jalan terjal namun layak untuk diperjuangkan demi keberlangsungan kehidupan yang lebih baik, indah dan adil bagi seluruh manusia. Menghapus ketimpangan, kemiskinan, diskriminasi, dan penindasan manusia atas manusia. Salam Pembebasan Nasional!
Jakarta, 30 Oktober 2022
Ketua PEMBEBASAN
Sekjen PEMBEBASAN
Datu Gozali
Renald Haning

© PEMBEBASAN 2010 - 2024