Resensi Buku: Pramoedya Ananta Toer–Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer

date
May 25, 2024
slug
resensi-buku-pram-perempuan-cengkeraman-militer
status
Published
tags
Artikel
summary
Resensi Buku: Pramoedya Ananta Toer–Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer
type
Post
Property
Resensi Buku: Pramoedya Ananta Toer–Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer
  • Mereka Diangkut dengan Kapal
  • Mereka jadi Buangan
Oleh: A.M. Nahdan
Karya Pramoedya Ananta Toer Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer adalah upaya mengungkapkan sisi lain dari kejahatan tentara kolonial Jepang (Dai Nippon) kepada rakyat Indonesia, khususnya anak-anak perempuan pribumi Indonesia. Rata-rata di antara mereka berusia 13-19 tahun. Kita dapat membayangkan anak dengan usia itu; masih sangat muda, bangsawan, pengusaha lokal, bupati, camat hingga lurah–adalah anak yang memiliki latar belakang keluarga kelas menengah atas. Indonesia sampai dengan sekarang massa rakyat dengan stratifikasi sosial yang demikian merupakan kelompok yang mampu secara ekonomi, dihormati komunitas/lingkunganya karena ada keistimewaan, dan mudah memiliki akses terhadap kekuasaan tertentu. Tapi dihadapkan dengan fasisme Jepang, status keluarga mereka menjadi tidak berarti, dengan gamblang menuruti permintaan mereka. Apakah keluarga dari anak-anak gadis itu salah? Tidak ada jawaban yang adil. Sebab, apabila tidak menggubris permintaan tersebut, konsekuensi yang diterima ialah amukan Dai Nippon. Walaupun dalam perkembangan sejarah perjuangan rakyat Indonesia, sebagian dari kelompok priyayi jadi kaki tangan penjajah, tapi tidak adil bila sepenuhnya kesalahan dilimpahkan kepada keluarga. Suka tak suka, suatu bangsa yang terjajah akan dibuat tak berdaya dari berbagai aspek; budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Manipulasi kesadaran kolektif rakyat atas ideologi pembebasan merupakan sebuah keharusan yang tak berkesudahan.
Pada tahun 1939, ketika sedang memuncaknya perang Dunia II, Indonesia adalah salah satu negara di kawasan Asia yang turut tertimpa sial menjadi sasaran proyek pendudukan dan eksploitasi fasis Jepang. Kemudian pada tahun 1943, Jepang melakukan invasi ke Nusantara setelah mendapatkan persetujuan dan dukungan kawan-kawan fasisnya di Eropa, Jerman dan Italia. Setelah Jerman melakukan penyerangan dan melemahkan kekuatan Belanda, kesempatan itu dimanfaatkan Jepang melakukan perundingan dengan Belanda untuk menyerahkan wilayah kekuasaan ke tangan mereka. Dari pihak Belanda diwakili Jenderal Tjarda van Starkenborgh (Gubernur Hindia Belanda) dan Letnan Jenderal Hendrik Ter Poorten (Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda). Sementara pihak Jepang diwakili oleh Hitoshi Imamura. Ia seorang jenderal angkatan darat kekaisaran Jepang pada masa Perang Dunia II, yang kemudian hari menjabat sebagai gubernur ke-16 di Jawa pada masa fasisme Jepang di Indonesia, dan panglima tentara ke-8 yang diberi tugas oleh otoritas Jepang di Kepulauan Solomon dan Papua Nugini.
Perundingan tersebut dikenal perjanjian Kalijati, namanya diambil dari sebuah kecamatan yang berada di Subang, Jawa Barat. Perjanjian ini pertanda bahwa seluruh wilayah kekuasaan Belanda di Nusantara diserahkan kepada Jepang.
Pram menyuguhkan sebuah kisah yang tragis, menghidupkan sisi lain ingatan kita atas sebuah sejarah bangsa yang pernah dijajah. Kejahatan kemanusiaan yang seharusnya tidak terjadi dalam kurun waktu hampir pertengahan abad 20 itu, meninggalkan luka teramat dalam. Selalu dan akan selalu membekas dan menjadi memori sepanjang hidup. Terutama anak-anak perempuan yang kala itu menjadi korban dari kebiadaban tentara Jepang.
Awalnya, Pram sendiri kurang menaruh perhatian meski mendengar cerita dari beberapa pihak. Ia menyusun dan membuat catatan-catatan ketika ia dibuang ke Pulau Buru, Maluku. Ia mendapatkan keterangan dari teman-teman sepembuangan, sembari mereka melakukan pelacakan para korban yang ditinggalkan tentara Jepang di Pulau Buru pasca menyerah pada tahun 1945.
Kondisi serba sulit dan penuh kebuntuan akibat perang pasifik antara Jepang dan sekutu, membuat jalur perdagangan seks biasanya tertutup. “Perempuan penghibur” (jugun ianfu) dari Jepang, China, dan Korea untuk memenuhi birahi para serdadu-serdadu Jepang tidak bisa mereka datangkan. Penjajahan dan fasisme selalu haus untuk menelan sesama manusia untuk memuaskan birahi, melampiaskan kebencian, dan mencuri kemanusiaan dari korbannya.
Disebutkan dari pengantar buku ini, bahwa berdasarkan laporan dari beberapa pihak, diperkirakan 200.000 perempuan di kawasan Asia (Indonesia, Korea Selatang, Thailand, Filipina, dan Burma) termasuk dari Jepang sendiri menjadi korban perbudakan seks oleh serdadu-serdadu tersebut.
Melalui otoritas Jepang, dengan iming-iming kepada rakyat akan memberi kesempatan kepada perempuan-perempuan muda Indonesia untuk belajar di luar negeri. Mereka dijanjikan akan dikirim ke Tokyo-Jepang dan  Syônan-tô (Singapura). Janji-janji ini semacam kebijakan tertutup yang tidak dicatat dalam dokumen militer Jepang, sebab perintah mereka hanya untuk membawa anak-anak perempuan dengan cara apapun. Ketiadaan catatan sejarah ini yang dijadikan alasan lemah Jepang untuk lolos dari pertanggungjawaban atas kejahatan perang.
Sesi 3 dan 4 buku ini; Mereka Diangkut dengan Kapal dan Mereka jadi Buangan. Pram menceritakan seperti apa dan bagaimana cara “perawan-perawan remaja” itu dibawa oleh serdadu Jepang. Mengapa mereka yang dilempar ke asrama -asrama serdadu. Bagaimana aksi-aksi bengis serdadu terhadap korban yang masih anak-anak itu dilakukan sejak dalam kapal. Bagaimana dan mengapa para korban kemudian menjalani hidup jadi orang asing di negeri mereka sendiri dan negeri orang lain. Bukan kehendak mereka sendiri meninggalkan keluarga dan kampung halaman untuk dianiaya. Suka tak suka, para korban harus menyesuaikan diri dengan kondisi, dan lingkungan baru.
Tidak ada acara perpisahan, jangankan acara semacam itu, sanak-famili pun tidak dapat mengantar mereka ke pelabuhan dan kapal pada keberangkatan terakhir. Mereka diambil secara paksa dari pangkuan keluarga. Anak-anak perempuan itu berpisah dengan sanak-famili di depan rumah, mereka dijemput oleh serdadu-serdadu Jepang menggunakan sepeda motor. Detik-detik perpisahan dengan keluarga dan kampung halaman dibuat sesingkat-singkatnya. Mengingatkan cerita Leo Schneiderman tentang momen terakhir sebelum ibunya dieksekusi mati, dalam peristiwa Holocaust Nazi Jerman dan sekutu terhadap 6 juta kaum Yahudi. Setibanya Leo di Auschwitz, ibunya lari ke arahnya dan berkata, “Leibele, aku takkan dapat melihatmu lagi. Jaga saudara laki-lakimu.”, kalimat yang mengisyaratkan sebuah perpisahan yang tak seharusnya terjadi dalam kehidupan umat manusia.  Sulit untuk membayangkan apa yang terjadi beberapa puluh menit dan jam kedepan sepanjang perjalanan.
Di Eropa anak-anak dipisahkan dari orang tuanya tanpa mengetahui apa nasib mereka besok; dan di Asia anak-anak perempuan sama sekali tidak tahu motif dibalik Jepang memberi mereka kesempatan untuk belajar di luar negeri. Sebaik-baiknya mereka membayangkan, kepergian mereka dari keluarga adalah bagian dari rencana mulia Jepang untuk membawa bangsa-bangsa terjajah menuju matahari terbit.
Kata Pram; .., begitu mereka sampai ke tempat tujuan pertama, mereka dicemplungkan ke dalam kehidupan yang mengguncangkan. Sebelum berangkat ke kota studi, mereka ada di tempat pengumpulan. Jakarta, Surabaya, dan Solo adalah kota dimana mereka dikumpulkan. Setiap kota-kota besar dapat dipastikan tempat pengumpul. Istilah pengumpul sendiri mungkin sekarang dikenal semacam basecamp atau asrama. Sebuah pengkondisian amat sistematis. Mereka tidak bertemu atau berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Serdadu-serdadu Jepang berjaga di luar rumah. Orang-orang sekitaran rumah juga tidak bisa seenaknya masuk untuk menemui anak-anak ini. Kecuali para serdadu sendiri yang memesan sesuatu dari luar kepada penjual minuman (biasanya minuman es dan jahe) baru diperbolehkan masuk. Diceritakan dalam rumah tersebut berada sekitar 40-50 gadis berasal keluarga baik-baik dan terpelajar.1
Dia (penjual es dan jahe) sendiri tidak mengenal dan tahu dari mana asal dan keluarga mereka. Mereka berada di tempat pengumpulan untuk menunggu jadwal keberangkatan, dimana kapal yang nanti mereka tumpangi tak kunjung jelas kemana perginya. Apakah Tokyo? Bangkok? Singapura? Adapun lakon ludruk ala pemerintahan fasis Dai Nippon, yang merenggut tubuh dan kehidupan anak perempuan disana.  Selama di tempat pengumpulan, dikisahkan bahwa serdadu Jepang itu, sering bertingkah aneh; tertawa dan mabuk saat dan setelah keluar dari asrama tempat para gadis-gadis itu disekap.
Setiba keberangkatan, mereka diangkut ke kapal menggunakan truk. Ditaksir satu buah kapal mengangkut 200 anak perempuan, bahkan lebih tergantung kapasitas kapal. Kapal yang mulai berlayar dari Tanjung Priok kala itu dengan 250-500 ton. Berlayar membawa barang-barang seperti gula, karet, teh, dan anak-anak perempuan dari Jawa ke Tiongkok dan Singapura. Dicatat ada lima kapal untuk setiap keberangkatan, pada awal bulan Maret 1945.2
Salah satu penyintas menceritakan peristiwa ketika kapal mulai lepas landas, 1,5 mil dari pelabuhan, serdadu-serdadu Jepang melakukan kebiadaban pada mereka. Gadis-gadis itu baru saja lulus SMP, dan ingin akan melanjutkan pendidikan ke Tokyo. Biar kelak nanti Indonesia mendapatkan kemerdekaan menjadi pemimpin bangsa. Namun, mimpi itu terkubur, dan tidak jadi imajinasi lagi. Anak-anak gadis itu diserbu dan diperkosa oleh serdadu. Mereka coba melakukan perlawanan; berlari ke geladak kapal, untuk menyelamatkan diri. Dari sekian gadis yang ada tak seorang pun lepas dari terkaman serdadu-serdadu Jepang. Bahkan ada diantara gadis-gadis itu lari ke menara kapal dan tepat di atasnya untuk melompat atau menceburkan diri ke laut. Namun, dengan tangan dan kaki yang terlatih dari serdadu Jepang yang memburunya, ia pun tertangkap.3
Tahun 1945, seorang nahkoda kapal dari Indonesia, Makhudum Sati dan 7 kawannya diutus berlayar dari Australia ke Papua. Namun setiba di Wednesday Island, mereka dihentikan berlayar oleh sekutu. Saat itu Jepang sudah menyerah terhadap sekutu. Mendapati 17 anak perempuan dari Semarang, Surabaya, dan berbagai asal dalam keadaan kurus dan  ceking, bahkan berjalan pun sudah tak mampu. Kata Pramoedya, mereka dilepas seperti ayam dari kandang terbakar. Mereka adalah anak-anak perempuan dari kapal-kapal Jepang itu; mereka ditelantarkan.
Sebelumnya sangat banyak daerah yang dijamah militer fasis Jepang untuk dicuri anak-anaknya. Desa saya pun jadi bagian penyisiran oleh serdadu Jepang. Mereka mengambil pemuda dari kampung untuk kerja paksa di Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara. Kakek saya juga adalah salah satu orang dari korban kerja paksa tersebut. Serdadu-serdadu jepang, masuk ke rumah-rumah meminta secara paksa kepada keluarga agar anak gadisnya dilepas untuk ikut dengan mereka. Namun, pihak keluarga tidak ada satupun yang mau, dengan alasan bahwa anak gadisnya sudah berkeluarga atau memiliki suami. Walaupun sejatinya anak gadis mereka belum menikah. Agar dibuat percaya para serdadu Jepang, keluarga mengelabui mereka dengan cara saudara laki-laki dan ayah dari keluarga tersebut menyamar atau memalsukan identitas sebagai suami dari saudara atau anaknya sendiri. Konon, serdadu Jepang tidak mau memilih perempuan yang sudah memiliki suami. Pada akhirnya, anak-anak gadis mereka tidak diambil oleh serdadu Jepang. Sebuah pengelabuan yang hingga saat ini saya dibuat takjub dengan kecakapan yang dimiliki oleh warga kala itu. Tetapi hal ini memperlihatkan lebih jelas sasaran kebuasan dari kolonial Jepang, mereka hanya mau memangsa anak-anak perempuan yang belum “dimiliki” oleh laki-laki.
Sementara para korban di Maluku yang ditelantarkan di negeri sendiri ketika Jepang menyerah, merelakan diri diperistri oleh massa rakyat Alifuru di pedalaman kabupaten Pulau Buru. Selain tidak memiliki uang atau bingung kembali pulang karena tidak tahu jalan, tapi ada beban hati yang paling menusuk mereka. Malu kembali ke pangkuan keluarga dan kampung halaman tercinta, para korban merasa menjadi perempuan hina, ternoda, dan tidak mau nama baik keluarga tercemar. Sebaliknya, keluarga tidak memperdulikan mereka. Tidak mencari keberadaan mereka. Apakah sudah meninggal atau belum? Kalau pun meninggal dimana mereka terakhir dikuburkan? Perasaan yang sama, mereka yang berada di luar negeri.
Para perawan remaja ini, kata Pram, tidak bisa berbuat banyak hal kecuali menyerah. Dengan suasana hati yang pecah, sedih, dan pilu. Sangat menyayat hati.
Dua sesi terakhir dari buku ini, Pram memberi kesimpulan bahwa anak-anak perempuan yang menjadi korban jugun ianfu itu, selain ditempatkan di Indonesia, ada pula yang ditempatkan di luar negeri setelah meninggalkan Jawa. Tentara Dai Nippon melepas mereka tanpa ada tanggung jawab, tanpa pesangon, tanpa makanan, dan tanpa ucapan terima kasih. Diserahkan kepada keberuntungan atau kesialan, dan naluri bertahan hidup masing-masing. Tidak pula mendapatkan pelayanan dan perlindungan pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan. Tidak mendapatkan perhatian keluarga. Ya, mereka jadi buangan yang dilupakan.
  • A.M. Nahdan adalah pengurus nasional PEMBEBASAN.
1halaman 28
2halaman  30
3halaman 33

© PEMBEBASAN 2010 - 2024