Roque Dalton: “Aku Senang Tertawa dan Mengasihi Rakyat”
date
Jul 20, 2015
slug
roque-dalton:-aku-senang-tertawa-dan-mengasihi-rakyat
status
Published
tags
Artikel
summary
Mengenal dan mengenang Roque Dalton, penyair revolusioner dari El Savador
type
Post
Property
Aku tak percaya pada malaikat
Manusia, menggunakan kesengsaraan lapuknya sebagai cermin. Sejam lalu atau selepas gelap manusia, memungut kepedihan sisa-sisa harinya dan kekhawatiran, layaknya orang sakit, ia letakkan tepat di sisi hatinya dan dengan berkeringat, layaknya pasien TBC, ia perjuangkan hidupnya hingga pun tenggelam di ruang-ruang kesepian, yang muram -Roque Dalton
Roque Dalton lahir pada 14 Mei, 1935, di San Salvador, El Salvador. Bapaknya salah seorang dari residivis Dalton Bersaudara. Ibunya lah, seorang perawat, yang menanggung hidup keluarganya. Setelah setahun di Universitas Santiago, Chili, Roque mendaftar ke Universitas San Salvador, 1956-di sini ia mendirikan Lingkaran Studi Sastra Universitas, yang gedungnya kemudian dibakar tentara. Setahun setelah itu, ia bergabung dengan Partai Komunis; karenanya, pada tahun 1959 dan tahun 1960, ia dipenjara, dengan dakwaan: menghasut tentara dan kaum tani untuk memberontak pada tuan tanah. Dalton divonis mati, tapi hidupnya diselamatkan sehari sebelum eksekusi-saat diktator Kolonel José Maria Lemus terguling. Pada tahun 1961, ia menjalani pembuangan di Mexico, menulis beberapa sajak, yang dipublikasikan dalam La Ventana en el rostro (“Jendela yang di Hadapan Mukaku”) dan El turno del ofendido (“Giliran Mereka yang dizalimi”)-yang ia dedikasikan untuk kepala kepolisan El Salvador, yang gagal mendakwanya.
Ia ke Mexico, sebagai buangan politik. Dari Mexico, Roque, secara sukarela, pindah menetap di Kuba-dengan hangat, para penulis Kuba dan buangan Amerika Latin, yang biasa ngumpul-ngumpul di Casa de las Amèricas, menyambutnya. Sejak saat itu, dimulai dengan karyanya “Jendela di Hadapan Mukaku” dan El Mar (“Laut Itu”) pada tahun 1962, hampir seluruh karya puisinya diterbitkan di Kuba. Pada musim panas 1965, ia kembali ke El Salvador untuk melanjutkankan perjuangan politiknya. Dua bulan setelah kedatangannya, ia ditangkap lagi, disiksa dan, lagi-lagi, divonis mati. Tapi, lagi-lagi juga, ia berhasil melarikan diri saat gempa bumi menghancurkan dinding selnya-ia gali reruntuhan dinding selnya menjadi lubang jalan lari.
Roque kembali ke Kuba dan, beberapa bulan, kemudian Partai Komunis mengirimnya ke Praha sebagai koresponden The International Review: Problems of Peace and Socialism. Pada tahun 1969, bukunya Taberna y ostros lugares (“Warung Tempat Mabuk dan Tempat-tempat Lainnya”), yang menggambarkan pengalaman selama ia tinggal di Praha, memenangkan Penghargaan Pusisi Casa de las Amèricas dan menempatkannya, pada umur 34 tahun, sebagai salah seorang penyair muda terbaik Amerika Latin. Pada tahun 1975, faksi militer gerilya Marxis, Rakyat Revolusioner Ejército (ERP), secara tak adil menuduhnya mencoba memecah belah organisasi dan menghakiminya dengan hukuman mati. Mereka mengeksekusinya pada 10 Mei, 1975, empat hari sebelum ulang tahunnya yang ke-40.
Duapuluh tahun yang berat setelah kematiannya yang tragis, kematian yang sia-sia, fakta-fakta kompleks kehidupan Roque Dalton telah banyak diabaikan―atau, dalam banyak kasus diklarifikasi dan didefinisikan―oleh mitos. Bahkan, di antara kawan-kawan dekatnya, hampir tak mungkin membicarakannya tanpa jatuh ke verbalisme yang terlalu membesar-besarkannya-secara superlatif dan anekdot. Profil karya artistiknya, yang dipenggal pada umur 40 tahun, tetap menjadi artifak monumental: pengakuan terhadap perjalanan menyedihkan sepanjang abad duapuluh, yang mengungkapkan kontradiksi, dialektika, hubungan cinta-benci terhadap negeri kelahirannya―El Salvador―baik ketika masih di dalam negeri atau selama pembuangan; selain itu, juga menggambarkan pengakuan yang sangat dalam bahwa puisi bisa dan harus-baik dalam hidupnya maupun dalam karyanya, baik dalam kata maupun dalam praktek-melayani perubahan terhadap ketidakadilan (yang parah) dan masyarakat (yang stagnan).
Bapaknya, salah seorang dari residivis Dalton bersaudara-yang, setelah merampok bank, menghilang dari Kansas dan menetap di El Salvador dengan nasib buruknya. Ia sekadar mewariskan nama belakang bapaknya, Dalton, tanpa pengakuan hukum sebagai anak yang syah-Roque memang anak haram. Ia mendapatkan pendidikan Jesuit. Ibunya lah, seorang perawat, yang menunjang kehidupan seluruh keluarganya. Roque belajar tentang pembedaan kelas sejak dini-pada kenyataannya, sejak hari pertama di taman kanak-kanak, di Santa Teresita del Niño Jesús, ia bisa mengingatnya:
… di tempat
Kelahirannya sebagai anak haram dan statusnya sebagai anak tersingkir di sekolah anak-anak orang kaya, mematangkan perasaan sakithatinya, dan itu lah, tak diragukan lagi, akar yang menentukan Roque menolak norma-norma yang ada, yang terbawa hingga masa dewasanya. Ia lah yang terpandai di kelasnya, terpilih sebagai murid rangking tertinggi pada hari wisuda. Pada perayaan wisuda, ia mengambil kesempatan untuk melampiaskan perasaan sakithatinya pada kemunafikan guru-guru Jesuitnya-yang tanpa malu-malu mendukung prasangka-prasangka mayoritas orang kaya di sekolahnya; dan, walau pun mereka tak terang-terangan menyemangatinya, tapi mereka mentolerir perlakuan diskriminatif (yang menjijikan) murid-murid kaya terhadap saudara-saudara sesama umat Yesus yang miskin atau anak-anak haram.
Setelah setahun di Universitas Santiago, Chile, pada tahun 1956, Roque kembali ke Universitas San Salvador, tempat ia bersemangat membantu membentuk Lingkaran Sastra Universitas namun, tak lama kemudian, tentara membakar gedung sekretariat mereka. Setahun kemudian, Roque melakukan perjalanan ke Festival Pemuda di Moscow dan, setelah kembali, ia bergabung dengan Partai Komunis. Ia ditahan pada tahun 1959 dan juga pada Oktober, 1960, dengan dakwaan resmi: “ Ia telah membentuk sel-sel di kalangan buruh, mahasiswa dan petani, menghasut mereka untuk melancarkan pemberontakan dengan kekerasan terhadap pemilik tanah… “
Sekali lagi cerita takjub tentang Roque. Ia tak diadili atau dihukum oleh pengadilan sipil, tapi, menurut legenda-ia akan dieksekusi oleh regu tembak. Sehari sebelum dieksekusi-26 Oktober, 1960-diktator Colonel José María Lemus dikudeta, selamat lah jiwanya. Pada tahun 1961, ia menetap di di Mexico sebagai buangan. Sebagian besar waktunya ia gunakan untuk menulis puisi-puisi awalnya: Jendela Yang Di Hadapan Mukaku dan Giliran Mereka Yang Dizalimi. Buku kumpulan puisi yang kedua tersebut merupakan didedikasikan (serangan) bagi Komandan Polisi Salvador, yang gagal mendakwanya: “ Kepada Jenderal Manuel Alemán Manzanares, yang punya segudang hukuman keji bagiku, sebenarnya kau telah memberi penghargaan yang sangat tinggi bagi hidupku, walau kau tak menjelaskan kebenaran yang kau besar-besarkan itu. “
Roque, menggambarkan fase hidupnya ini: “ Sebenarnya, kerjaku begitu tak berharganya, hingga mereka samasekali tak mau menyebutnya dalam dakwaan; Jenderal Manzanares bertingkah seolah-olah mengisi kekosongan hidupku yang terdalam. Aku benar-benar takzim akannya hingga, kemudian, aku sendiri yang menyediakan bukti-bukti yang memberatkan diriku sendiri di hadapan jaksa. Untuk alasan tersebut, aku telah benar-benar memilih profesiku. “
Ambiguitas muncul dalam kalimat terakhirnya. Apakah Roque menganggap bahwa puisi adalah profesi? Sewajarnya! Puisi-puisinya banyak menggunakan ketinggian hasrat, yang ia olah dengan intensitas profesional. Kalimat sebelumnya, saat ia mengatakan bahwa ia menyediakan “bukti-bukti yang memberatkan diriku sendiri di hadapan jaksa,” sangat jelas, dilihat dari konteksnya, ia sedang mengacu pada jaksa atau dakwaan terhadap puisinya sendiri. Gamblang sekali, ketika ia menulis dedikasinya, Roque menganggap dirinya sebagai seorang revolusioner profesional. Dan-tentu saja-sebagai seorang penyair.
Roque berhasil merajut kedua seruan tersebut. Etika profesionalnya dan estetikanya, yang dihadapkan pada realitas El Salvador yang suram, menghasilkan kemanusiaan yang mengarahkan kehidupan pribadinya dan puisi-puisinya dalam satu kesatuan. Hadiah yang dihaturkan padanya, saat mengejek-dirinya, menyelamatkan dirinya-ia tak jatuh pada sajak yang mendakwa, yang sering menghiasi ungkapan-ungkapan kosong-kering revolusioner. Ia samasekali waspada terhadap gaya yang ia buat dalam hidupnya, terbukti saat ia membuat puisi sindiran (dalam bentuk momen), “Seni yang puisitis” (1974):
Roque sudah menjadi seorang revolusioner militan saat revolusi Kuba (Januari 1959) menghasilkan kejutan (bagai gempa) dalam kesadaran sosial seluruh orang Amerika Latin. Pasti lah merupakan pengalaman luar biasa bagi penyair berumur 24 tahun menyaksikan bahwa keyakinan revolusionernya bisa diwujudkan, apalagi telah ia lantangkan, sudah ia kerjakan dan, bahkan, pernah divonis hukuman mati karenanya.
Setelah masa buangannya di Mexico selesai pada bulan Desember, 1961, Roque hijrah ke Havana, Kuba. Kaum revolusioner Kuba menawarkan penyair-penyair muda Amerika Latin kesempatan yang jarang didapat: mempublikasikan karya-karyanya. Dan Roque tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Buku pertamanya Milikku dan Burung-burung, terbit di El Salvador pada tahun 1958 dan, yang kedua, Jendela yang Di Hadapan Mukaku, muncul di Mexico pada tahun 1961. Setelah itu-dimulai dengan Giliran Mereka yang Dizalimi dan Laut Itu, yang muncul pada tahun 1962-hampir seluruh karya puisinya, juga prosanya, dipublikasikan di Kuba.
Selama periode di Kuba, Roque tak sekadar menulis puisi dan esay-esay sastra; ia juga menerima latihan kemiliteran agar dirinya siap saat kembali ke El Salvador. Patut diingat, saat itu adalah periode pergolakan kaum revolusioner, tak sekadar di diri Fidel Castro dan Che Guevara tapi juga bagi kaum revolusioner Amerika Tengah serta Karibia-mereka menganggap revolusi Kuba sebagai picu perjalanan bagi rangkaian pemberontakan (dengan sedikit pertolongan dari Fidel) di seluruh area Amerika LAtin. Pada musim panas 1965, secara rahasia, Roque kembali ke El Salvador-untuk melanjutkan manis-getirnya mencintai revolusi bagi tanah kelahirannya, melanjutkan kerja politiknya, yang terjegal oleh masa pemenjaraan dan pembuangannya.
Pada saat itu, kembali ke tanah air secara rahasia bukan merupakan hal yang terlalu serius. Dua bulan setelah ketibaannya, justru, yang menentukan takdir Roque selanjutnya: ia ditangkap, divonis mati, tapi tetap punya rangkap nyawa. Legenda. Satu hari, Roque begitu bosannya dan, bersama seorang penyair lainnya, pergi ke bar Niña Concha, di mana musik conchas negras dan bir dingin dihidangkan. Saat ia masih menjilati busa bis di bibirnya, dua polisi berpakaian preman berjalan ke arahnya dan menangkapnya. Ia diisolir, disiksa, diinterogasi dan ditangani oleh CIA, dan ia kemudian divonis mati.
Saat Roque menunggu eksekusi hukuman matinya di pejara Cojutepeque, keberuntungan datang lagi, saat ini dalam bentuk gempa bumi tahun 1965, sehingga menambah pembendaharaan cerita dalam legendanya. Gempa bumi meruntuhkan dinding penjaranya dan ia berhasil menggali jalan pelarian di tengah reruntuhan batu dan hujan peluru mortir, tapi ia berhasil melarikan diri dengan kaki terpincang-pincang dan barut-barut. Ia menyelinap di tengah prosesi keagamaan yang melewati penjaranya saat gempa bumi datang-satu lagi keajaiban-dan kawan bawah tanahnya menyelundupkan dia ke luar dari El Savador. Ia kembali ke Kuba dan beberapa bulan kemudian Partai mengirimnya ke Praha sebagai koresponden The International Review: Problems of Peace and Socialism.
Saat ia di Praha, ia berkorespondensi dengan salah seorang kawan seperjuangannya yang hidup di Paris-yang isinya tak banyak bercerita tentang politik dan sastra, tapi ia banyak bercerita tentang kehidupan sehari-hari di Praha dengan cara komikal; tukar menukar resep makanan El Salvador, yang sulit disediakan di Eropa, terutama di Praha karena langkanya bahan-bahannya.
Ada percakapan aneh yang diceritakan salah seorang kawannya Claribel:
“Saat itu ia mampir di Paris. Karena aku tak ada, ia menemui Julio Cortázar untuk menanyakan keberadaanku. Aurora, isteri Julio, kemudian, bercerita padaku:
“Ia sangat aneh, ekspresinya sangat sendu, aku merasa kematian tragis akan menghampirinya.” “Tak mungkin”, kataku, “Roque punya setumpuk nyawa, lebih dari seekor kucing.” “Akh, Roque, yang pandai menari rumba dan samba, sebagian tumpukan nyawanya untuk itu.”
Di perwajahan internasional, tahun 1960 adalah masa berkelimpahannya kaum revolusioner Amerika Latin. Dari Praha, Roque merenung tentang kegagalan gerakan gerilya Guatemala, Nikaragua, Kolombia, dan Peru. Ia mendengar tentang kematian Che Guevara di Bolivia. Teori foquista-yang muncul karena sukses revolusi Kuba-banyak mendapat cercaan; saat diserbu rangkaian malapetaka tersebut, kaum kiri Amerika latin banyak melakukan otok-kritik dan saling melancarkan debat yang pahit-sehingga memecah-mecah pendapat tentang titik berangkat revolusi bagi masing-masing negerinya. Selama periode tersebut, Roque tak pernah guncang keyakinannya bahwa revolusi di El Salvador hanya bisa dicapai melalui perjuangan bersenjata. Pandangan seperti itu menyebabkan ia tersingkir dari Partai Komunis El Salvador-yang tetap berpegang teguh pada garis resminya: “legalisme” dan Akumulasi kekuatan.” Pada saat itu, tak ada satu pun, baik kondisi “obyektif” maupun kondisi “subyektif” bagi pemberontakan rakyat di El Salvador, dan Roque menjatuhkan pilihannya pada kelompok kecil kaum revolusioner Guatemala, yang kemudian menjadi lingkaran Tentara Gerilya Kaum Miskin (EGP). Ketidakhadirannya yang misterius pada tahun 1968: ia menjalani periode kedua latihan kemiliteran.
Bukunya, Tavern dan Tempat-tempat lainnya, mencerminkan ungkapannya saat menetap lama di Praha, yang memenangkan penghargaan puisi Casa de las Américas-sebagai salah seorang penyair terbaik Amerika Latin-pada tahun 1969, saat ia berumur 34 tahun. Proyek gerilya EGP tak berhasil berkembang hingga tahun 1972, hingga akhirnya ia bergabung sebagai staff Casa de las Américas dan bekerja selama 5 tahun di sana, di kantor berita Prensa Latina dan Radio Havana, sembari melanjutkan mempublikasikan buku-buku puisi lainnya, sesekali monograf.
Pada awal tahun 1970-an, semangat revolusioner kembali memperoleh momentumnya di El Salvador, dan Roque menperoleh jabatan dalam jajaran organisasi Pembebasan Rakyat Fuerzas (ELP). Pimpinannya, Komandan Marcial, merendahkan dia, dengan mengatakan bahwa tempatnya di jajaran kaum revolusioner adalah sebagai penyair Maxis ketimbang sebagai prajurit gerilya revolusioner.
Siapapun yang terbiasa dengan militansi Roque, yang penuh hasrat dan kepercayaan (lama tak tegoyahkan)-bahwa puisi revolusioner tak bisa sekadar dipinggiran, mengambil jarak, tak terlibat, tapi harus aktif dalam perjuangan-bisa menebak bahwa ia tak akan mengikuti nasihat semacam itu. Malahan, ia membuat kontak dengan organisasi gerilya lainnya, Rakyat Revolusioner Ejército (ERP), yang menerima permohonannya untuk bergabung.
Persayaratan lainnya yang ia jalani, sebelum bertransisi dari profesinya sebagai intelektual dan penyair menjadi gerilya, adalah operasi plastik. Hidungnya (yang seperti paruh elang), kupingnya (yang caplang), parasnya (yang kecil-ramping), tentu saja tak asing lagi bagi orang-orang dan penguasa El Savador, hingga akan menyulitkannya saat hendak menyelundup masuk ke negrinya. Apalagi, sebenarnya, pada saat yang lalu, ia hanya bisa selamat dalam perjuangan bawah tanah selama 2 bulan saja, sebelum ia ditangkap kembali pada tahun 1965. Ia keluar dari klinik bedah dengan telinganya yang lancip-ramping, berkumis tipis, kacamata berrangka kulit-penyu, rambut rapi kelimis dan kening yang lebih tinggi: contoh tampang eksekutif-pengusaha muda yang serius.
Roque masuk El Salvador secara diam-diam dan dengan surat-surat palsu pada akhir 1973. Ia menghilang ke dunia bawah tanah yang ketat. 18 bulan kemudian ia menulis Sajak-sajak Bawah Tanah.
Sebagai pribadi, Roque memancarkan suatu vitalitas (tanpa batas) yang berkilauan pada setiap wujud kehidupannya: dalam puisi-puisinya, dalam ejekan-ejekannya (habis-habisan , terutamasaat membodoh-bodohkan dirinya), dalam hasrat revolusionernya, dalam keingintahuannya (yang mati-matian), dalam nafsunya (untuk memahami dan menjelaskan dunia yang kompleks dan kontradiktif yang ia jalani).
Salah satu konsekwensi vitalitasnya adalah hasil kerjanya yang berlimpah: 18 volume puisi dan prosa, sebelum kematian (prematur) pada usia 40 tahun. Konsekwensi lainnya, penampakkan tak sabaran untuk merevisi, mengerjakan ulang, sajak-sajaknya. Walaupun faktanya bahwa banyak karya sindirannya dipulas dan diasah bagaikan intan, tapi seseorang akan mendapat kesan seakan-akan karya-karyanya tak diolah secara hati-hati dan sabar, atau datang begitu saja ke kepalanya, dan terdorong ke luar begitu saja-mungkin di bagian belakang amplop, atau di selembar tissue-tatakan, dikumpulkan, lalu masuk kantong. Membaca kembali karyanya, seesorang tak bisa menghindari sensasi (dipancarkan, tak ragu lagi, oleh pengetahuan setelah momen terjadi) bahwa dia penulis yang terburu-buru; bahwa ia, dalam beberapa hal, tahu waktunya terbatas, hari-harinya terbatas, dan ia harus segera memanfaatkan setiap momentum, apapun aktivitas yang sedang ia jalani.
Sesuatu yang konstan dalam karya-karyanya: perkembangan terus menerus dalam keutamaan bentuk; kemajuannya menuju suatu penggunaan bahasa yang lebih langsung; dan dialog yang ketat dengan keterampilan puisi-tempat ia berkonsultasi, memadatkan dan, akhirnya, menyanjungnya, seperti ia ledakkan dalam Tavern:
Ah, puisi, hari ini
Saat ia menulis Sajak-sajak Bawah Tanah, ia mendapatkan kepercayaan diri sebagai seorang pecinta kemenangan, yang telah mengawinkan dan memenangkan inspirasi kembarnya: Puisi dan Perjuangan Revolusioner.
Walau ia memiliki kepercayaan diri yang besar-sebagai basis baginya dalam menata intrumen puisi dan optimisme revolusionernya, hingga ia bisa memandang masa depan-banyak hal tak berjalan baik dalam organisasinya, ERP. Roque bersikeras bahwa revolusi mebutuhkan jaringan dengan organisasi massa (yang mulai bermunculan)-yang sangat menjanjikan bisa menjadi faktor kekuatan politik di negerinya. Faksi militer, di sisi lain, dengan strategi kudeta jangka-pendek, menuduhnya sebagai pengkhianat yang sedang mencoba memecah belah organisasi. Kelompok itu lah yang memberinya vonis hukuman mati, mengeksekusinya pada tanggal 10 Mei, 1975, empat hari menjelang ia merayakan ulang tahunnya yang ke-40.
Cukup ironis, tindakan tersebut justru memancing, memicu, perpecahan dalam ERP-Perlawanana Nasional (RN) memisahkan diri guna membentuk organisasi yang, namun, masih bernafsakan politiko-militerisme. Tak hanya itu, kebijakan Roque yang meganjurkan adanya jalinan-jaringan antara organisasi politiko-militerisme (bawah tanah) dengan organisasi massa (terbuka) kemudian diterima sebagai garis-perjuangan bagi seluruh gerakan revolusioner utama yang ada pada saat itu.
Kematian Roque (yang sia-sia) lebih mentautkan lingkaran mitos dan legenda yang mengelilinginya sejak awal. Bagi kaum revolusioner Amerika Latin, Roque diubah menjadi figur martir dan, setelah kematiannya, reputasi sastranya tumbuh begitu karya-karyanya dipublikasikan. Padahal, menurutnya:
Saat kau tahu bahwa aku telah mati, jangan lah menyebut namaku…
Suguhan bagi yang tertawa dan lemah lembut Kenangan Ernesto Cardenal[1].
Aku ingat Roque Dalton. Aku ingat ketawanya. Ceking, pucat, tulang belulangnya bercuatan, hidung gede, sepertiku, dan selalu tertawa. Aku tak tahu mengapa yang selalu kuingat adalah kau yang tertawa, Roque Dalton. Tertawanya seorang revolusioner. Bukan kaum revolusioner yang khas, husuk-serius, samasekali bukan, tapi seorang revolusioner yang tertawa sepanjang waktu. Pertama-tama sekali, ia menertawakan dirinya. Ia tertawa pada hal-hal kecil Elsavador, yang ia anggap bodo, dan akan selalu ia omongkan, karena ia sangat menyayangi negeri “kurcacinya”. Betapa wajarnya ia menertawai borjuis El Salvador, dan kami juga terbawa-bawa terbahak-bahak. Ia juga menertawai Jesuit yang, sebenarnya, justru, telah ia pelajari dan merupakan sekolah tempat ia “kehilangan kepercayaannya”. Tapi ia juga akan menertawai ekspresi saat ia bergabung dengan Partai Komunis, ia sedang menrtawai segala hal tentang partai. (Walau masih merupakan partainya) Ia akan bercerita tentang hal-hal fantastik tentang El Salvador yang, sepertinya, dikarang-karang, tapi memang demikian, adanya. Seorang lelaki yang pernah dipenjara-seorang yang benar-benar menyelam ke kedalaman penjara-yang dipenuhi kecoa, selama beberapa tahun. Gila, memang, saat mereka memberikan kesempatan padanya untuk melarikan diri dari penjara; ia tak mau melepaskan kesempatan tersebut sampai gigitan kecoa yang terakhir. Ia akan tersenyum penuh berkah dan, baginya, dikelilingi kecoa bagai dikelilingi kupu-kupu. Sekali waktu, Roque pernah dipenjara, dan mereka akan menembaknya. Apalagi, mereka menghasut agar partai percaya bahwa ia adalah agen dan intel CIA. Maksud mereka: agar, jika ia dibunuh, ia tak akan jadi martir. Ia tak percaya Tuhan tapi, malam itu, ia berdoa, ia berlutut di sel-nya dan berdoa. Bila “keberuntungan gila” datang, katanya, datang lah gempa bumi malam ini juga; penjara runtuh dan ia melarikan diri. Cinto Vitier, Fina dan Aku menertawainya, mengatakan padanya bahwa kami punya sebutan lain bagi apa yang ia sebut sebagai “keberuntungan gila”, dan ia juga tertawa. Roque selalu ada dalam susana humor (tak kepalang tanggung), walau banyak hal mengerikan telah ia jalani, segala hal mengerikan yang akan selalu menunggunya di depan hidupnya yang, sebenarnya, sudah ia perkirakan sebelumnya. Komitmen Roque Dalton pada revolusi bagai suatu akad nikah. Ia mengawini revolusi. Takdirnya bukan sekadar menyanyikan revolusi, tapi juga memberikan hidupnya, nyawanya, bagi revolusi. Sekarang ia merasuk lagi dalam kehidupan banyak orang, ia hidup kembali dalam pemberontakan El Salvador. Ia selalu tertawa, di tengah-tengah pembantaian, di tengah-tengah tangisan. Ia tertawa karena ia merasa menang. Seolah-olah ia lah pemenangnya. Roque Dalton akan menjadi taman kanak-kanak, sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit; ia akan menjadi sajak yang ia tulis dan sajak-sajak lainnya yang belum ia tulis. Roque Dalton akan tertawa, penduduk Roque Dalton yang bahagia.
Karya sindiran-nyinyir (nya) dibasuh kemanusiaan yang lemah lembut; Menurut Majalah Reportase Katolik Nasional: …seorang yang sederhana, jujur, kawan rakyat El Salvador yang penuh dedikasi; Anaknya Juan Jose Dalton mengatakan: “ Ayahku dibunuh karena perbedaan politik, dan pimpinan gerilaya ERP tak pernah memebrikan otok-ktitik resmi yang mendalam dan sadar
Darahku juga mendidih dan aku tertawa hingga mataku paham pedihnya airmata.
Menurutku dunia ini indah dan puisi bagai roti; milik semua orang. Dan urat-urat syarafku tak berujung di diriku tapi di banjirnya darah mereka yang berjuang untuk hidup, cinta, segala sesuatu, pemandangan dan roti, puisi bagi semuanya.
— — — — -
- Pernah diterbitkan di Tabloid Pembebasan, Edisi III/Thn I/2003. Versi Online di Indomarxist.Net, 3 Februari 2004.
[1] Ernesto Cardenal adalah Pastor, penyair, yang turut bergabung dalam revolusi Nikaragua bersama Front Pembebasan Nasional Sandinista (FSLN).