Sikap Politik PEMBEBASAN terhadap Pemilihan Umum 2024
date
Feb 8, 2024
slug
sikap-politik-pembebasan-pemilu-2024
status
Published
tags
Sikap
Rilis
summary
Sejarah umat manusia adalah sejarah pertentangan kelas. Pertentangan yang tak terdamaikan itu bisa kita lihat dengan mata telanjang. Setiap saat buruh menuntut negara menjamin upah layak, pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis dan berkualitas, dan jaminan sosial bagi buruh dan keluarganya.
type
Post
Property
Sikap Politik PEMBEBASAN terhadap Pemilihan Umum 2024
Lawan Pemilu 2024
Lawan Militerisme dan Sisa Orde Baru
Lanjutkan Konsolidasi Kekuatan Politik Alternatif
Tinggal seminggu lagi rakyat Indonesia tiba di salah satu tahap “pesta demokrasi palsu”. Rakyat diminta menggunakan haknya untuk memilih calon anggota legislatif serta calon presiden dan wakil presiden. Lagi-lagi gerakan rakyat terbelah dan dihadapkan pada pilihan sulit, terlebih ketika Prabowo Subianto kembali mencalonkan diri sebagai presiden dengan menggandeng anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakilnya.
Sebagian kelompok gerakan sosial dan aktivis oportunis melihat momentum pemilihan umum (pemilu) ini sebagai peluang dengan mencemplungkan diri ke salah satu kubu pasangan calon (paslon). Mereka berharap bisa memberikan pengaruh dari dalam, dan syukur-syukur bisa kebagian remah-remah jabatan, jika yang didukungnya menang. Sebagian lagi memasang sikap hati-hati, tidak masuk kubu tertentu, sambil melancarkan kampanye agar pemilihan presiden (pilpres) kali ini tidak dimenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Posisi kelompok yang disebut terakhir itu pada dasarnya bisa dimengerti. Mereka tidak ingin demokrasi di Indonesia semakin mundur jika dipimpin Prabowo Gibran. Prabowo yang punya rekam jejak berdarah dan hubungan yang kentara dengan Orde Baru, serta Gibran yang jalannya mulus akibat putusan Mahkamah Keluarga, membuat sebagian kelompok gerakan–dan tentu kubu lawan Prabowo–menggencarkan isu pelanggaran etik dan nepotisme (politik dinasti) sebagai amunisi.
Gerakan Reformasi 1998 memang menuntut pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun itu bukan satu-satunya tuntutan. Ada beberapa tuntutan lain yang mestinya menjadi faktor pertimbangan penentuan sikap, jika yang dikehendaki adalah menuntaskan Reformasi, atau lebih jauh lagi, mewujudkan demokrasi dan ekonomi kerakyatan –kehidupan demokrasi dan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak.
Semua Calon Kongkalikong dengan Cukong dan Sisa Orba
Sejarah umat manusia adalah sejarah pertentangan kelas. Pertentangan yang tak terdamaikan itu bisa kita lihat dengan mata telanjang. Setiap saat buruh menuntut negara menjamin upah layak, pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis dan berkualitas, dan jaminan sosial bagi buruh dan keluarganya. Pada saat yang sama para pengusaha mendesak negara menderegulasi aturan yang menghambat investasi, membangun infrastruktur penopang distribusi komoditas, serta menjamin upah buruh tetap rendah dengan hubungan kerja yang fleksibel. Semua demi kelangsungan akumulasi kapital yang dikendalikan segelintir orang.
Aspek pertentangan kepentingan tersebut menjadi penting dalam melihat kemungkinan keberpihakan para paslon. Sebagaimana kita tahu, tidak ada satupun dari ketiga pasangan capres-cawapres yang tidak dibekingi pengusaha. Kajian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang dirilis Januari lalu menunjukkan bahwa Pemilu 2024 berpotensi dikendalikan para konglomerat.
Di balik pasangan Anies-Muhaimin terdapat Surya Paloh, Jusuf Kalla, Muhammad Ali, Rahmat Gobel, Leontinus Alpha Edison, Jan Darmadi, dan Susno Duadji. Di kubu Prabowo-Gibran, terdapat Hashim Djojohadikusumo, Kaesang Pangarep, Roslan Roeslani, Titiek Soeharto, Bahlil Lahadalia, Aburizal Bakrie, Luhut Pandjaitan, Lodewijk Paulus, Garibaldi Thohir, Erick Thohir, Wisnu Wardhana, dan masih banyak lagi. Belum lagi Prabowo dan Gibran sendiri yang punya banyak perusahaan. Di kubu Ganjar-Mahfud, terdapat Mohammad Arsjad Rasjid, Sandiaga Uno, Puan Maharani, Hary Tanoesoedibjo, Oesman Sapta Odang, Heru Dewanto, Happy Hapsoro, dan Stevano R Adranacus.
Perlu dicatat bahwa nama-nama pengusaha seperti Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Oesman Sapta Odang, Titiek Soeharto, dan masih banyak lainnya, adalah orang-orang yang punya riwayat menikmati otoritarianisme militer Orde Baru, baik di Partai Golkar dulu maupun di ormas-ormas pendukungnya. Kini mereka menyebar di berbagai partai pendukung para paslon. Prabowo Subianto, sebagai salah satu calon presiden, adalah bekas perwira tinggi militer Orde Baru dan pernah menjadi kepanjangan tangan Suharto. Dengan demikian, sulit membayangkan para paslon kelak akan serius menuntaskan Reformasi dengan menghapus sisa-sisa ideologi Orde Baru, menyita aset-asetnya, apalagi mengadili kroni-kroninya.
Cara pandang dan keberpihakan para paslon terhadap perekonomian Indonesia juga bisa kita lihat dari janji yang mereka umbar ke hadapan para pengusaha di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Anies menjanjikan iklim usaha yang kondusif dan penyederhanaan perizinan bagi para pengusaha. Prabowo percaya bahwa food estate –yang dikelola PT Agrinas dan kroni-kroninya–sebagai jalan keluar dari masalah kelangkaan pangan. Ia juga secara terang mengatakan bahwa negara ini harus dipimpin oleh entrepreneur (pengusaha), mengikuti tren yang berkembang di negara-negara imperialis. Sementara Ganjar dengan tegas mengatakan bahwa Kadin, dan tentu para pengusaha di dalamnya, adalah mitra paling strategis dalam mengembangkan perekonomian Indonesia.
Semua Calon Membiarkan Gerbang Barak Terbuka
Selain mendapat dukungan (dan mencari dukungan) logistik dari para pengusaha dan berangkulan dengan sisa-sisa Orde Baru, ketiga paslon juga bertingkah genit dengan menarik purnawirawan militer ke dalam tim pemenangannya. Sebut saja, misalnya, Muhammad Syaugi, Iman Sudrajat, Hendri Suprianto, Ediwan Prabowo, Fachrul Razi, Sutiyoso, Sunarko, ada di tim pemenangan Anies-Muhaimin; lalu di tim Prabowo-Gibran ada Arri Sujono, Surya Darma, Wiranto, Imam Sufaat, Subagyo HS, Luhut Pandjaitan, dan tentu alumni Tim Mawar; di tim Ganjar-Mahfud terdapat Andika Perkasa, Hendropriyono, Gatot Pramono, Bernard Sondakh, Agus Supriatna, Agus Setiadji, dan Ganip Warsito.
Benar bahwa larangan berpolitik bagi militer adalah saat mereka masih aktif sebagai prajurit. Namun perlu diingat, tidak ada kata pensiun bagi jiwa korsa (esprit de corps). Para purnawirawan itu sewaktu-waktu bisa saja mempengaruhi junior-juniornya menggerakkan pasukan untuk kepentingan tertentu, termasuk memadamkan suara-suara kritis rakyat dan mengamankan bisnis junjungannya.
Susilo Bambang Yudhoyono gagal menuntaskan reformasi militer dengan gagal merevisi undang-undang (UU) peradilan militer dan membiarkan bisnis-bisnis militer terus berjalan. Di era Jokowi, selain janji revisi UU peradilan militer kembali diingkari, reformasi militer semakin jauh panggang dari api. Melalui sejumlah regulasi dan jalur “informal”, tentara dibiarkan kembali merambah ke urusan-urusan sosial-politik, termasuk bidang penegakan hukum, menduduki jabatan publik yang mestinya diisi sipil, hilir-mudik ke daerah konflik tanpa persetujuan dewan perwakilan rakyat, mengamankan demonstrasi, hingga menjadi tenaga pengamanan di Mahkamah Agung.
Lagi, tidak ada satupun pasangan capres-cawapres yang terlihat serius hendak melanjutkan reformasi militer. Sebaliknya, mereka malah membuka ruang untuk militer kembali keluar barak. Sedangkan kita tahu, pada masa Orde Baru, militer adalah kepanjangan tangan rezim dalam membungkam dan menundukkan rakyat, mengamankan bisnis kroni Suharto, juga mengubah rakyat menjadi massa mengambang.
Reformasi militer adalah salah satu amanat penting Reformasi 1998 untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis. Amanat itu telah diakui melalui dua ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2000. Pelibatan purnawirawan-purnawirawan hanya akan mempersulit upaya reformasi militer seperti menghapus impunitas dengan mengadili para jenderal pelanggar HAM; menegakkan akuntabilitas prajurit dengan merevisi UU peradilan militer; serta membubarkan komando teritorial untuk menutup akses campur tangan militer dalam kehidupan sipil dan politik.
Mencermati fakta-fakta di atas, kami menilai tidak ada satupun calon presiden dan wakil presiden yang bisa benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat banyak dan demokrasi yang sejati. Begitu pula dengan partai-partai pengusungnya.
Demokrasi yang sejati
Demokrasi yang kami kehendaki bukanlah demokrasi perwakilan yang memanfaatkan lembaga-lembaga demokratis untuk menggagalkan kendali rakyat dari bawah terhadap negara. Bukan pula demokrasi yang mengesampingkan mayoritas rakyat pekerja dari kontrol yang efektif atas tempat kerja, alokasi sumber daya, serta lembaga-lembaga sosial dan negara. Bukan juga demokrasi yang serba terbatas tapi pada saat bersamaan membebaskan lembaga-lembaga perwakilan diisi oleh orang-orang yang tidak mewakili kepentingan kelas pekerja. Demokrasi kami bukan demokrasi yang mengilusi rakyat dengan kedok “pesta demokrasi” sambil dalam helaan napas yang sama melemahkan dan membatasi kedaulatan rakyat.
Bagi kami demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang bukan hanya berlaku di medan politik, tetapi juga di ruang-ruang sosial dan ekonomi. Demokrasi partisipatoris yang memberi kelas pekerja kontrol demokratis dan kontrol kolektif yang efektif atas alat produksi, alokasi sumber daya, tempat kerja, lembaga-lembaga sosial, dan lembaga-lembaga negara yang penting. Demokrasi yang bisa menjamin pertanggungjawaban delegasi terhadap konstituennya dengan cara mengakui hak untuk menarik kembali (right to recall), majelis rakyat berkala, perluasan konstitusional hak-hak demokratis rakyat, dan demokratisasi lembaga peradilan. Demokrasi yang kami tuju bukan demokrasi yang memapankan dan melanggengkan kapitalisme.
Di satu sisi, kami menyadari bahwa sistem pemilu borjuis dalam kondisi tertentu memberi peluang untuk diintervensi, misalnya dengan berkoalisi atau bahkan langsung berkontestasi. Namun intervensi dan keikutsertaan itu mesti digunakan sebagai ajang untuk memblejeti pemilu borjuis atau demokrasi parlementer –yang sarat dengan pembatasan bagi kekuatan politik antikapitalis–dan untuk mempropagandakan program-program revolusioner, bukan semata untuk berebut kekuasaan.
Di sisi lain, secara objektif, sistem demokrasi parlementer di Indonesia dewasa ini masih sarat dengan pembatasan. Aturan ambang batas elektoral dan presidensial (electoral and presidential threshold), yang hanya memberi kesempatan kontestasi pada para konglomerat dan partai borjuis, serta persyaratan yang semakin dipersulit oleh larangan ajaran marxisme-leninisme, membuat demokrasi yang ada kini sulit untuk dibilang sebagai benar-benar demokratis dan terbuka bagi rakyat. Pada saat yang sama, kondisi subjektif gerakan kiri sedang berada di posisi yang lemah. Kondisi ini membuat gerakan kiri dan demokratik progresif sulit melakukan intervensi. Pembatasan-pembatasan yang ada sekarang harus didobrak dari bawah. Karenanya, bagi kami konsolidasi gerakan alternatif progresif menjadi lebih vital untuk saat ini.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) menyatakan melawan Pemilu 2024 dengan tuntutan atau sikap sebagai berikut:
- Menolak tiga kandidat presiden dan wakil presiden yang ada (Anis-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud);
- Menolak partai politik borjuis yang menjadi kontestan pemilu 2024;
- Bubarkan komando teritorial TNI;
- Adili Partai Golkar dan jenderal pelanggar HAM;
- Tolak korupsi, kolusi, dan nepotisme yang termanifestasi pada politik dinasti Jokowi;
- Revisi UU Ormas, UU Pemilu, dan UU Partai Politik, cabut ambang batas elektoral dan presidensial;
- Cabut Tap MPRS No. 25 tahun 1966, Pasal 188 UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP, UU Cipta Kerja, UU PSDN, UU Minerba, dan revisi UU ITE;
- Buka ruang demokrasi seluas-luasnya bagi perjuangan rakyat West Papua;
- Perluas demokrasi, lawan rasisme, dan berikan kebebasan berideologi, beragama, dan berkeyakinan;
- Berikat kuota 50% untuk perempuan di semua jabatan publik;
- Revisi peraturan perundang-undangan tentang aborsi sehingga rakyat bisa mendapatkan akses aborsi yang aman dan bebas dari stigma negatif;
- Hormati kebebasan identitas dan orientasi seksual;
- Hormati, lindungi, dan penuhi hak-hak masyarakat adat;
- Wujudkan upah layak nasional untuk kesejahteraan buruh;
- Tanah, modal, dan teknologi modern di bawah komite tani;
- Hormati, lindungi, dan penuhi hak kaum disabilitas;
- Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, feminis, ekologis, dan bervisi kerakyatan;
- Wujudkan kesehatan gratis yang berkualitas.
Perlawanan terhadap Pemilu 2024 ini kami nyatakan bukan karena kami antipemilu, antipartai, atau antiparlemen, sekalipun berlangsung dalam sistem demokrasi perwakilan liberal. Bukan juga karena kami ingin mengajak rakyat dan mahasiswa bersikap apatis apalagi apolitis. Sebaliknya, kami ingin mengajak rakyat dan mahasiswa lebih sadar politik dan aktif melakukan aktivitas politik dengan melanjutkan konsolidasi dan pembangunan kekuatan/partai politik alternatif sebagai alat politik persatuan dan perjuangan rakyat. Kekuatan politik yang tidak bersandar pada oligarki maupun kepemimpinan aristokrasi serikat buruh kanan. Kekuatan yang menghendaki terwujudnya pemerintahan buruh dan rakyat, yang menghendaki terwujudnya demokrasi dan kesejahteran yang sejati.
Salam pembebasan nasional!
Bersatu dan berjuang untuk membangun kekuasaan rakyat!
Medan juang, 8 Februari 2024
Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN)